
The Fed Akan Cegah Taper Tantrum, Masa Depan Dolar AS Suram!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) merilis notula rapat kebijakan moneter pertengahan Desember lalu pada Kamis (7/1/2020) dini hari tadi. Dalam notula tersebut menunjukkan para anggota dewan The Fed sepakat akan terus menginformasikan ke pasar kapan program pembelian aset (quantitative easing) akan mulai dikurangi.
Dengan demikian, artinya The Fed berusaha untuk meredam terjadinya "taper tantrum", yang bisa membuat pasar finansial global bergejolak. Sebelum merilis program QE, The Fed pernah melakukan hal yang sama pada 2008 lalu saat terjadi krisis finansial global.
Saat itu, Amerika Serikat mengalami resesi, yang memicu krisis finansial global. Guna membangkitkan perekonomian, The Fed memangkas suku bunga hingga 0,25%, menggelontorkan QE dalam tiga tahap.
QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012. Nilainya pun berbeda-beda, saat QE 1 The Fed membeli efek beragun senilai US$ 600 miliar, kemudian QE 2 juga sama senilai US$ 600 miliar tetapi kali ini yang dibeli adalah obligasi pemerintah (Treasury) AS.
QE 3 berbeda, The fed mengumumkan pembelian kedua aset tersebut senilai US$ 40 miliar per bulan, kemudian dinaikkan menjadi US$ 85 miliar per bulan.
Akibatnya Balance Sheet The Fed yang menunjukkan nilai aset (surat berharga) yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing semakin membengkak. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, maka balance sheet The Fed akan semakin besar.
Balance Sheet The Fed mengalami lonjakan signifikan sejak September 2008, dan terus menanjak setelahnya.
Kebijakan suku bunga rendah dan QE membuat perekonomian Negeri Paman Sam banjir likuiditas, akibatnya indeks dolar AS tertahan di bawah level 90. Artinya dolar AS sedang melempem.
Pada Juni 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana untuk mengurangi (tapering) QE.
Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS melempem. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk "taper tantrum" mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.
The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.
Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015 saat suku bunga acuan akhirnya dinaikkan 25 basis poin menjadi 0,5%. Setelahnya, The Fed mempertahankan suku bunga tersebut selama 1 tahun, penguatan indeks dolar pun mereda.
Rupiah menjadi salah satu korban keganasan "taper tantrum" kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan "tapering" Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Di bulan Februari 2020, sebelum virus corona menjadi pandemi, nilai Balance Sheet The Fed sekitar US$ 4,1 triliun, sementara posisi di 30 Desember sebesar US$ 7,36 triliun. Artinya selama pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian AS nyungsep ke jurang resesi, The Fed sudah membanjiri perekonomian AS dengan likuiditas lebih dari US$ 3 triliun.
Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, sebab saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008 The Fed juga melakukan hal yang sama. Nilai Balance Sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.
Dengan agresifnya The Fed membanjiri perekonomian AS dengan duit, maka wajar jika nilai dolar AS terus melemah. Secara teori, semakin banyak uang beredar maka nilai tukarnya akan semakin melemah.
The Fed yang berusaha meredam terjadinya "taper tantrum" jilid II, tentunya membuat kemungkinan dolar AS mengamuk lagi saat QE dikurangi menjadi lebih berkurang, sehingga kemungkinan besar masih akan tertekan ke depannya.
Dalam notula The Fed, nilai QE saat ini mencapai US$ 120 miliar per bulan, dan bisa ditambah lagi selama diperlukan.
Selain QE, The Fed juga berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan <0,25% dalam waktu yang lama.
Data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023. Peluang kenaikan tersebut juga terbilang cukup kecil karena mayoritas anggota FOMC masih melihat memproyeksikan suku bunga di level saat ini 0% - 0,25%, sebanyak 3 orang melihat suku bunga di kisaran 0,25% - 0,4%. Masing-masing 1 anggota melihat suku bunga di kisaran 0,5% - 0,75% dan 1% - 1,25%.
Dalam jangka panjang, mayoritas melihat suku bunga berada di level 2,5%.
Dengan kata lain, berdasarkan proyeksi saat ini, The Fed tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023.
Sementara itu, untuk produk domestik bruto (PDB) tahun 2020, diprediksi mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 2,4%, lebih baik dari proyeksi sebelumnya -3,7%. Sementara untuk tahun ini PDB diproyeksikan tumbuh 4,2%, lebih baik dari perkiraan sebelumnya 4%.
Sementara itu, tingkat pengangguran AS di tahun ini turun menjadi 6,7%, jauh di bawah prediksi sebelumnya 7,6%. Sementara tahun depan diperkirakan 5%, turun dari proyeksi sebelumnya yaitu 5,5%.
Untuk diketahui, data terbaru yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan tingkat pengangguran di bulan November sebesar 6,7%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cuan Selangit! Ini Mata Uang yang Bikin Dolar AS Takluk