Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah mengatakan tahun 2020 bukanlah tahun yang mudah. Sebab, pandemi Covid-19 tidak hanya menekan perekonomian tapi juga meluluhlantahkan pasar keuangan.
Peristiwa ini akan tercatat dalam sejarah dunia. Bagaimana virus yang bermula dari Wuhan ini membuat harga saham jatuh bahkan hanya dalam waktu sepekan saja.
"Hanya dalam sepekan terakhir Februari 2020 asing melepas Rp 28 triliun, di Maret 2020 kepanikan asing berlanjut dengan melepas Rp 92,5 triliun. Dengan total pelepasan SBN [surat berharga negara] Rp 120 triliun tersebut, memicu aksi beli valas oleh asing sebesar US$ 9 miliar. Ini outflows dana asing terbesar sepanjang sejarah," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Senin (4/1/2021).
Menurutnya, pelepasan saham oleh investor asing (outflow) ini dikarenakan Covid-19 yang ada di benak investor global adalah "sell first, think later" dan "cash is a king".
Oleh karenanya, seluruh investor merasa harus menyelamatkan uangnya, melepas aset berisiko dan ditukar ke uang tunai, obligasi pemerintah AS dan emas sebagai aset aman alias safe haven.
"Pelepasan dana asing dari SBN dan aksi beli valasnya dalam jumlah US$ 9 miliar tersebut memicu kepanikan di pasar interbank domestik. Bank bank domestik yang sebagian besar sedang short dollar di call bank bank offshore yang akan membeli dollar dalam volume besar sekitar 10 - 50 juta US$ per deal," imbuh Nanang.
NEXT: Bagaimana 2021?
Tidak terhindarkan aksi ini membuat kurs rupiah loncat tajam yang sebelumnya di sekitar Rp 13.800/US$ di akhir Februari menembus Rp 14.000 hingga Rp 14,400 diakhir Maret.
Bahkan rupiah 'bonyok' dan melesat ke Rp 16,600 karena pasar berlanjut panik setelah WHO mendeklarasikan pandemi Covid-19 dan seluruh negara melakukan travel ban (larangan bepergian).
"BI sudah masuk ke pasar melakukan intervensi di pasar SBN, spot dan DNDF [Non-Deliverable Forward di pasar domestik] sejak awal tekanan di akhir Februari."
"Di pasar SBN terjadi kepanikan, bukan hanya asing yang panik tapi juga investor domestik. Jadi tidak ada yang membeli SBN di pasar sekunder saat itu, hanya BI sebagai single buyer. Apabila BI tidak masuk pasar SBN, berpotensi terjadi sell off [ramai-ramai jual] dalam skala besar yang akan menimbulkan instabilitas sistem keuangan," kata dia.
Lanjutnya, di pasar spot intervensi dilakukan sekaligus bersamaa di platform brokerage maupun secara langung call bank (direct interbank). Intensitas intervensi di pasar spot dan DNDF dipertegas di bulan Maret untuk mencegah kurs tidak menembus Rp 17.000.
"Instrument DNDF dapat diibaratkan berperan sebagai kolam bendungan yang mengalihkan dulu "kebutuhan cash" valas di pasar, menjadi pembelian di masa depan (forward), sehingga air kolam tidak cepat tumpah ruah. Ketika kondisi sudah normal, pembelian dilakukan melalui pasar spot, dan posisi DNDF nya dibiarkan jatuh waktu," jelasnya.
Lalu bagaimana dengan 2021?
Menurut Nanang, tahun 2021 adalah tahun memberi harapan dibandingkan 2020.
Meski kasus covid masih meningkat, mulai dilakukannya vaksinasi akan memberikan secercah harapan bagi pasar.
Kemudian kepemimpinan baru AS di bawah Joe Biden dinilai akan membuat tensi konflik dagang AS-China mereda, dan bank sentral AS, Eropa, dan Jepang akan masih lama mempertahankan suku bunga rendah dan terus memompa likuiditas.
"Sehingga fokus investor global seharusnya lebih kepada mencari aset high return di negara EM. Sehingga berpotensi mendorong aliran modal termasuk ke Indonesia," tutupnya.
Pada perdagangan awal tahun 2021, Senin ini (4/1/2021), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Dolar AS kian jauh di bawah Rp 14.000.
Pada Senin (4/1/2021) pukul 11:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 13.860. Rupiah menguat 1,28% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Tahun Baru.