Outlook 2021

Tahun Ini Loyo 1,66%, Tahun Depan Rupiah Siap 'Balas Dendam'

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 December 2020 17:40
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat 0,5% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.040/US$ pada perdagangan terakhir tahun 2020, Rabu (20/12/2020). Meski demikian, sepanjang tahun ini rupiah membukukan pelemahan 1,66%.

Mata Uang Garuda sebenarnya mengawali tahun ini dengan impresif. Pada 24 Januari lalu, rupiah menyentuh level Rp 13.565/US$, menguat 2,27% dari posisi akhir 2019 atau secara year-to-date (YtD).

Saat itu rupiah menjadi mata uang terbaik dunia, bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS.

Rupiah juga digadang-gadang menjadi salah satu mata uang yang akan bersinar di tahun ini, bahkan akan banyak diburu pelaku pasar. Sebab saat itu sedang ada euforia berakhirnya perang dagang AS-China, setelah keduanya menandatangani kesepakatan dagang fase 1. Perekonomian global diramal akan membaik di tahun ini setelah kesepakatan tersebut.

"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu," kata Rohit Garg, analis di Bank of America Merril Lynch dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).

Gard menambahkan rupiah menjadi mata uang yang paling diuntungkan dari pemulihan ekonomi global serta kenaikan harga komoditas.

Namun sayangnya, bukan membaiknya perekonomian, malah resesi global yang terjadi setelah virus corona menyerang. Sejak penyakit akibat virus corona (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), di bulan Maret, nilai tukar rupiah langsung ambruk.

Rupiah yang sebelumnya menjadi mata uang dengan kinerja terbaik ambrol hingga menyentuh level Rp 16.620/US$ pada 24 Maret lalu. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak krisis moneter 1998, dan merosot nyaris 20% YtD.

Bank Indonesia (BI) bertindak guna menyelamatkan perekonomian dengan memangkas suku bunga acuan, dan mengadopsi program pembelian aset (quantitative easing/QE), begitu juga dengan Pemerintah Indonesia yang menanggulangi penyebaran virus corona serta membangkitkan lagi perekonomian dengan menggelontorkan stimulus fiskal nyaris Rp 1.000 triliun.

Serangkaian kebijakan yang diambil tidak mampu menyelamatkan Indonesia dari resesi yang resmi terjadi di kuartal III-2020. Tetapi tidak hanya Indonesia, puluhan negara di dunia mengalami resesi, termasuk negara-negara maju, bahkan sekelas Amerika Serikat (AS).

Semua karena Covid-19, maklum saja, salah satu cara untuk meredam penyebarannya adalah dengan melakukan pembatasan sosial (sosial distancing) serta karantina wilayah (lockdown), yang membuat roda bisnis melambat, bahkan nyaris mati suri. Maka wajar terjadi resesi.

Namun, tahun depan beda cerita, dengan dimulainya vaksinasi di beberapa negara, dan Indonesia diperkirakan akan mulai di bulan Januari 2021, harapan akan piulihnya perekonomian global semakin membuncah.

Beberapa institusi memprediksi di tahun 2021 perekonomian global akan kembali tumbuh, setelah mengalami kontraksi di tahun ini. Morgan Stanley misalnya memprediksi perekonomian global akan tumbuh 6.5% di 2021, ada juga OECD dengan prediksi pertumbuhan 5%.

Sementara itu untuk Indonesia, Bank Indonesia memperkirakan perekonomian akan tumbuh di kisaran 4,8%-5,8% di 2021.

Seperti awal tahun ini, rupiah diuntungkan dengan ekspektasi pemulihan ekonomi global, dan bisa terjadi lagi di tahun depan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Supercycle Komoditas Akan Untungkan Rupiah

Kenaikan harga komoditas juga dapat menguntungkan bagi rupiah. Apalagi, mulai tahun depan harga komoditas akan berada dalam fase supercycle atau tren kenaikan dalam periode yang panjang.

Profesor ekonomi terapan di John Hopkins University, Steve Hanke, dalam wawancara dengan Kitco, Selasa (22/12/2020), mengatakan komoditas termasuk emas akan memasuki fase supercycle tersebut pada tahun 2021 mendatang.

"Supply sangat terbatas, stok rendah, dan ekonomi mulai bangkit dan maju ke depan, harga komoditas akan naik dan memulai supercycle. Saya pikir saat ini kita sudah melihat tanda awalnya," kata Hanke, sebagaimana dilansir Kitco.

Harga-harga komoditas unggulan Indonesia seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara juga sudah meroket di tahun ini. Jika kenaikan tersebut terus berlanjut, maka pendapatan ekspor tentunya akan semakin meningkat. Hampir seperempat dari total ekspor RI adalah minyak dan lemak hewani atau nabati yang didominasi oleh CPO dan turunannya serta bahan bakar mineral yang kebanyakan adalah batu bara.

Saat pendapatan ekspor meningkat, bukan tidak mungkin Indonesia mempertahankan surplus transaksi berjalan (current account), yang berhasil diraih di kuartal III-2020.

Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.

Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia.

Kala defisit membengkak, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money di pos transaksi modal dan finansial (komponen NPI lainnya) sehingga diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.

Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat.

Kini dengan "hantu" CAD yang diperkirakan pergi dari Indonesia untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir, akan menjadi modal rupiah untuk menguat.

Namun, surplus transaksi berjalan di tahun ini diraih akibat pandemi Covid-19 yang membuat aktivitas ekonomi mati suri, sehingga impor menjadi merosot. Ketika impor kembali pulih, maka transaksi berjalan berisiko mengalami defisit lagi, sehingga kinerja ekspor perlu digenjot. Kenaikan harga komoditas tentunya bisa mempertinggi pendapatan ekspor.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar AS Tertekan Hingga 2 Tahun ke Depan

Jika rupiah bisa mendapat tenaga dari pemulihan ekonomi serta kenaikan harga komoditas, lawannya dolar AS justru diprediksi akan terus tertekan selama 2 tahun ke depan.

Hasil survei terbaru dari Reuters terhadap 72 analis menunjukkan, sebanyak 39% memprediksi dolar AS akan melemah hingga 2 tahun ke depan. Persentase tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan prediksi lainnya. Sebanyak 10% bahkan memperkirakan dolar AS masih akan melemah lebih dari 2 tahun ke depan.

Sementara itu, 15% melihat pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung kurang dari 3 bulan dan setelahnya mulai bangkit. 14% meramal pelemahan berlangsung kurang dari 6 bulan, dan 22% lainnya kurang dari 1 tahun.

idrFoto: Reuters

Banjir likuiditas di perekonomian AS menjadi penyebab dolar AS diprediksi masih akan tertekan.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengumumkan kebijakan moneter pertengahan bulan ini berkomitmen untuk menjalankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) sampai pasar tenaga kerja AS kembali mencapai full employment dan inflasi konsisten di atas 2%.

Artinya kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang lama. The Fed juga menegaskan akan menambah nilai QE jika perekonomian AS kembali melambat.

The Fed memberikan proyeksi inflasi yang dilihat dari belanja konsumsi personal (personal consumption expenditure/PCE) di tahun ini sebesar 1,2%, kemudian di tahun depan 1,8%. Artinya masih belum mencapai target di atas 2%, sehingga pada tahun depan kebijakan moneter yang diterapkan masih ultra longgar.

Besarnya QE yang sudah digelontorkan tercermin dari Balance Sheet The Fed yang menunjukkan nilai surat berharga yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, balance sheet The Fed akan membesar.

Di bulan Februari, sebelum virus corona menjadi pandemi, nilai Balance Sheet The Fed sekitar US$ 4,1 triliun, sementara posisi di 9 Desember sebesar US$ 7,2 triliun. Artinya selama pandemi ini, The Fed sudah membanjiri perekonomian AS dengan likuiditas lebih dari US$ 3 triliun.

Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, sebab saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008 The Fed juga melakukan hal yang sama. Nilai Balance Sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.

Dengan agresifnya The Fed membanjiri perekonomian AS dengan duit, maka wajar jika nilai dolar AS terus melemah. Secara teori, semakin banyak uang beredar maka nilai tukarnya akan semakin melemah.

Selain QE, The Fed juga berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan <0,25% dalam waktu yang lama.

"Langkah-langkah ini akan memastikan kebijakan moneter akan terus memberikan dukungan yang kuat terhadap perekonomian sampai pemulihan tercapai," kata Ketua The Fed, Jerome Powell, saat konferensi pers, sebagaimana dilansir CNBC International.

Data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.

Alhasil, dolar AS masih akan tertekan setidaknya 2 tahun ke depan.

Belum lagi stimulus fiskal yang digelontorkan pemerintah AS. Di awal pekan ini, Presiden AS, Donald Trump, sudah menandatangani rancangan undang-udang (RUU) stimulus fiskal senilai US$ 900 miliar.

Presiden Trump sebentar lagi akan lengser dari jabatannya, dan digantikan oleh Joseph 'Joe' Biden, pada 20 Januari mendatang. Biden sebelumnya sudah mengatakan akan menggelontorkan stimulus tambahan guna membantu perekonomian AS. Sehingga ke depannya, tekanan bagi dolar AS akan semakin bertambah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rp 13.900/US$ Jadi Kunci Pergerakan Rupiah

Dalam jangka panjang, level Rp 13.900/US$ akan menjadi kunci pergerakan rupiah. Di awal tahun ini, rupiah menembus level tersebut dan langsung melesat menguat hingga lebih dari 2%.

Di tahun 2019 lalu, rupiah beberapa kali mendekati level tersebut kemudian berbalik melemah, yang menjadi indikasi sebagai support yang kuat.

Potensi penguatan rupiah dalam jangka panjang terlihat dari death cross alias perpotongan rerata pergerakan 50 hari (moving average/MA 50), 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh.

Jika mampu menembus dan bertahan di bawah Rp 13.900/US$, rupiah berpeluang menguat ke Rp 13.565/US$ (level terkuat 2020). Penembusan di bawah level tersebut akan membuka peluang penguatan menuju Rp 13.300/US$ hingga Rp 13.150/US$ di tahun 2021.

Sementara itu, selama tertahan di atas Rp 14.000/US$, rupiah berisiko melemah dengan resisten kuat di Rp 14.600/US$

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular