
Update! Dolar AS Diramal Ambrol Hingga 2 Tahun ke Depan

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) sedang tertekan belakangan ini, bahkan hasil survei terbaru menunjukkan "sang raja" mata uang dunia ini masih akan melemah hingga 2 tahun ke depan.
Melansir data Refinitiv, indeks dolar AS di pekan ini merosot 1,2% ke 90,701, level tersebut merupakan yang terendah sejak 23 April 2018. Sepanjang tahun ini, atau secara year-to-date (YtD) indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut ambrol nyaris 6%.
Hasil survei terbaru dari Reuters terhadap 72 analis menunjukkan, sebanyak 39% memprediksi dolar AS akan melemah hingga 2 tahun ke depan. Persentase tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan prediksi lainnya. Sebanyak 10% bahkan memperkirakan dolar AS masih akan melemah lebih dari 2 tahun ke depan.
Sementara itu, 15% melihat pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung kurang dari 3 bulan dan setelahnya mulai bangkit. 14% meramal pelemahan berlangsung kurang dari 6 bulan, dan 22% lainnya kurang dari 1 tahun.
![]() |
Pelaku pasar yang mulai mengalirkan investasinya ke aset-aset berisiko menjadi alasan utama dolar AS yang menyandang status aset aman (safe haven) diprediksi masih akan terus tertekan.
"Anda tidak bisa memiliki dolar AS yang overvalue, sesederhana itu. Dolar AS saat ini overvalue secara signifikan dalam berbagai pendekatan yang saya pikir perbedaan kebijakan moneter menjadi alasan dibalik itu semua," kata Kit Juckes, kepala strategi valas di Societe Generale, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (4/12/2020).
"Pasar bereaksi terhadap penyesuaian kebijakan moneter tersebut sedang terakselerasi karena menjadi alasan untuk mencari investasi yang lebih baik," tambahnya.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), di bulan Maret lalu memangkas suku bunga acuannya sebesar 150 basis poin (bps) menjadi 0,25%, sebagai respon terhadap pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian AS masuk ke jurang resesi.
Akibat pemangkasan tersebut, berinvestasi dolar AS menjadi kurang menguntungkan, yield obligasi (Treasury) juga menurun drastis, bahkan kemungkinan negatif jika inflasi di AS mengalami peningkatan.
Ketua The Fed, Jerome Powell, sebelumnya mengatakan suku bunga tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.
Selain memangkas suku bunga, The Fed juga menggelontorkan stimulus moneter dengan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas, berapapun akan digelontorkan selama diperlukan untuk membantu perekonomian.
Selain itu, pemerintah AS juga menggelontorkan stimulus fiskal triliunan dolar AS. Alhasil jumlah uang bereda di perekonomian meningkat drastis, secara teori nilai tukar dolar AS akan melemah.