Bye Bye Dolar! Ini Raja Mata Uang Dunia, Cuannya Gila

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 December 2020 11:44
Ilustrasi Dollar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Dollar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) ambrol di pekan ini, indeks yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam ini menyentuh level terlemah dalam 2,5 tahun terakhir. Risk appetite pelaku pasar yang sedang bagus-bagusnya, plus stimulus fiskal dan moneter di AS membuat sang raja mata uang ini nyungsep.

Melansir data Refinitiv, indeks dolar AS di pekan ini merosot 1,2% ke 90,701, level tersebut merupakan yang terendah sejak 23 April 2018. Sepanjang tahun ini, atau secara year-to-date (YtD) indeks dolar ambrol nyaris 6%.

Kemerosotan dolar AS sepertinya masih belum berakhir, banyak analis yang memprediksi penurunan masih akan berlanjut hingga tahun depan.

"Kami memperkirakan dolar AS akan melemah sekitar 5% hingga 10% di tahun 2021 karena The Fed (bank sentral AS) membiarkan perekonomian AS melesat," kata kepala ekonom ING, Carsten Brzeski, dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Kamis (3/12/2020).

Maksud pernyataan tersebut adalah The Fed akan tetap mempertahankan suku bunga tetap rendah, meski perekonomian AS melesat dan inflasi naik cukup tajam. Memang bank sentral pimpinan Jerome Powell tersebut sebelumnya mengatakan suku bunga < 0,25% akan dipertahankan hingga tahun 2023.

Indeks dolar AS sebenarnya sempat melesat hingga nyaris 7% YtD ke 102,99 pada 20 Maret lalu akibat aksi jual masif di aset berisiko (saham) dan aset aman atau safe haven (emas) hingga muncul istilah "cash is the king". Namun, bukan sembarang cash, melainkan dolar AS.

Hal tersebut terjadi setelah virus corona menyerang dunia dan dinyatakan sebagai pandemi.

Tetapi setelahnya, The Fed bertindak guna menyelamatkan perekonomian AS dengan membabat habis suku bunga acuannya menjadi < 0,25%, serta memberikan stimulus moneter lainnya dengan melakukan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas. Artinya berapa pun nilainya akan dilakukan selama dibutuhkan perekonomian AS.

Alhasil, dolar AS berbalik merosot.

"Tidak ada keraguan kebijakan The Fed sukses membuat dolar AS merosot sejak musim semi tahun ini," kata Jane Foley, ahli strategi di Rabobank, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (4/12/2020).

Tekanan bagi dolar AS bertambah besar setelah pemerintah Washington menggelontorkan stimulus fiskal dengan nilai fantastis, US$ 2 triliun pada bulan Maret lalu. Dalam perjalanannya, nilai stimulus tersebut bertambah menjadi nyaris US$ 3 triliun.

Kini pemerintah AS berencana untuk kembali menggelontorkan stimulus fiskal. Dalam keterangan tertulis, Ketua House of Representatives (salah satu dari dua kamar yang membentuk kongres) Nancy Pelosi mengatakan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan mengkaji proposal yang diajukan kubu Partai Demokrat. Salah satunya adalah pemberian vaksin anti-virus corona harus gratis dan bisa dinikmati oleh siapa saja.

Selain itu, Pelosi dan Pemimpin Partai Minoritas di Senat, Chuck Schumer mendukung paket stimulus fiskal senilai US$ 908 miliar. Ini siap digolkan oleh kedua partai politik mayoritas di AS untuk menyokong bisnis kecil dan pengangguran di AS.

Keputusan stimulus harus cepat, karena tenggat waktu pengesahan anggaran tahun fiskal 2021 adalah 11 Desember 2020.

Selain itu, The Fed juga akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis 17 Desember dini hari WIB. Ada peluang The Fed akan menambah stimulus moneternya dengan meningkatkan nilai QE.

Saat stimulus fiskal atau moneter tersebut cair, maka jumlah uang yang beredar tentunya akan semakin banyak, secara teori dolar AS akan semakin terdevaluasi.

Selain itu, stimulus tersebut membuat sentimen pelaku pasar membaik dan kembali masuk ke aset-aset berisiko, dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi tak menarik lagi.

Selain stimulus moneter dan fiskal, sentimen pelaku pasar semakin membaik merespon kabar vaksin virus corona.

Perusahaan farmasi asal AS, Pfizier dan Moderna melaporkan vaksin buatannya sukses menanggulangi virus corona hingga lebih dari 90%.

Selain perusahaan di AS, perusahaan farmasi asal Inggris, AstraZeneca, juga mengumumkan vaksinnya sukses menanggulangi virus corona hingga 90% tanpa efek samping yang serius.

Vaksin AstraZeneca dianggap sebagai 'game changer' untuk melawan Covid-19 ini. Ini karena vaksin ini lebih murah dari vaksin Pfizer dan Moderna serta berpotensi lebih mudah untuk mendistribusikannya secara global sehingga sangat bermanfaat bagi negara miskin dan negara berkembang.

AstraZeneca berjanji tidak akan mengambil keuntungan dari vaksin Covid-19 selama pandemi. Itu membuat harga vaksinnya lebih murah. Menurut Financial Times, vaksin ini diharga US$3-US$4 per dosis. Vaksin ini butuh 2 dosis untuk memberi perlindungan maksimal.

Sementara itu, Pfizer telah resmi mengajukan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA) terhadap vaksin anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang mereka kembangkan kepada otoritas pengawas obat dan makanan AS (US FDA). Ini adalah proposal izin EUA pertama yang diajukan ke FDA.

Selain itu, Pfizer dikabarkan sudah mendapatkan ijin dari pemerintahan Britania Raya untuk penggunaan darurat bagi vaksin Pfizer dan partnernya BioNTec Sedangkan ijin dari pemerintahan AS akan datang sebentar lagi, bahkan banyak yang beranggapan bahwa vaksin Pfizer akan disetujui untuk penggunaan darurat sebelum tahun 2021.

Citigroup memprediksi di tahun 2021, ketika vaksin virus corona didistribusikan dan perekonomian global mulai bangkit, maka dolar AS akan ambrol 20%. Citigroup mengatakan ada banyak alasan untuk optimistis dari pengembangan vaksin saat ini, dan ketika didistribusikan ke masyarakat akan menjadi awal penurunan dolar AS

"Kami percaya distribusi vaksin akan memenuhi semua tanda-tanda periode penurunan (bear market), dolar AS akan mengikuti pola sama yang terjadi pada pertengahan 2.000an, ketika memulai tren melemah yang berlangsung selama bertahun-tahun," kata ahli strategi Citigroup dalam sebuah laporan yang dikutip Bloomberg beberapa pekan lalu.

Krona Swedia saat ini menjadi mata uang favorit setelah melesat lebih dari 10% melawan dolar AS. Penguatan tersebut terjadi setelah Swedia sukses meredam penyebaran penyakit akibat virus corona (Covid-19) sebelum kembali mengalami serangan gelombang kedua sejak Oktober lalu.

Meski demikian, krona masih tetap berjaya. Faktor utama penguatan krona di tahun ini adalah statusnya sebagai mata uang "risk-on", alias mata uang yang diburu saat sentimen pelaku pasar membaik.

Perekonomian global yang mulai pulih di kuartal III-2020 dari kemerosotan tiga bulan sebelumnya membuat sentimen pelaku pasar membaik, krona pun perlahan terus menguat.

"Krona Swedia dilabeli sebagai mata uang yang tergantung dari sentimen terhadap risiko, dan kita pasti akan melihat apresiasi saat sentimen terhadap risiko pulih," kata Richard Falkenhall, ahli strategi valuta asing senior di Skandinaviska Enskilda Banken (SEB) Group, sebagaimana dilansir poundsterlinglive.

Falkenhall memprediksi, krona masih akan menguat sebab masih undervalue sekitar 7%.

Selain itu, yuan China juga diprediksi akan terus menguat. Kemenangan Joseph 'Joe' Biden, di pemilihan presiden AS melawan petaha Donald Trump awal November lalu menjadi kunci penguatan yuan.

Di bawah pimpinan Biden, perang dagang antara AS-China diperkirakan akan berakhir, atau setidaknya tidak lebih buruk dari saat ini.

Kurs yuan yang sebelumnya terpuruk kini berada di peringkat ke lima mata uang terbaik dunia dengan penguatan 6,6%.

Setidaknya ada 3 bank investasi ternama yang memprediksi yuan akan menguat di tahun depan, ada Goldman Sachs, Morgan Stanley, dan Citibank.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cuan Selangit! Ini Mata Uang yang Bikin Dolar AS Takluk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular