
Asing Bawa Kabur Rp 2,6 T, Rupiah Bisa ke Rp 13.000-an/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,14% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.090/US$ pada Senin kemarin. Lonjakan kasus penyakit virus corona (Covid-19) di Indonesia memberikan tekanan bagi rupiah, pelaku pasar cemas jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ketat akan kembali diterapkan.
Pada Minggu (29/11/2020) lalu penambahan kasus harian Covid-19 mencetak rekor sebanyak 6.267 orang. Jawa Tengah dan DKI Jakarta menjadi penyumbang kasus terbanyak masing-masing 2.036 kasus dan 1.431 kasus.
Jika PSBB ketat kembali diterapkan, maka pemulihan ekonomi akan kembali melambat, yang bisa membuat aset-aset di dalam negeri, seperti rupiah menjadi tidak menarik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHGS) malah ambrol 3% kemarin, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) hingga Rp 2,6 triliun.
Meski demikian, bukan berarti rupiah tidak punya peluang menguat, jika di pasar saham terjadi capital outflow, di pasar obligasi justru kemungkinan terjadi inflow. Hal tersebut tercemin dari penurunan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun sebesar 3 basis poin ke 6,188% kemarin.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga, saat yield turun artinya harga obligasi naik, begitu juga sebaliknya. Saat harga naik, berarti terjadi aksi beli, sehingga kemungkinan terjadi capital inflow.
Selain itu, pelaku pasar juga bisa sedikit lega, sebab Senin kemarin kasus baru Covid-19 dilaporkan sebanyak sebanyak 4.617 orang, jauh lebih rendah dibandingkan hari Minggu lalu.
Kemudian, sentimen pelaku pasar global hari ini juga cukup bagus, terlihat dari penguatan bursa saham utama Asia yang sudah dibuka pagi ini, serta indeks saham berjangka (futures) AS yang juga menghijau.
Di awal pekan kemarin, kabar baik datang dari China dimana sektor manufakturnya kembali menunjukkan peningkatan ekspansi. Markit melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur bulan November sebesar 52,1, naik dari bulan sebelumnya 51,4.
Angka di atas 50 menunjukkan ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi. Negeri Tiongkok kini sudah mencatat ekspansi sektor manufaktur dalam 9 bulan beruntun, kontraksi hanya terjadi di bulan Februari ketika menerapkan lockdown.
Meningkatnya ekspansi China sebagai negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia tentunya memberikan harapan perekonomian global mampu terkerek naik, dan membuat sentimen pelaku pasar semakin membaik.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini akan merilis data inflasi November 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan (month-to-month/MtM) sebesar 0,195%. Kemudian inflasi tahunan (year-on-year/YoY) 1,53% dan inflasi inti YoY di 1,72%.
Kenaikan inflasi tersebut bisa menjadi indikasi roda bisnis mulai berputar lebih cepat, dan pemulihan ekonomi terus berjalan. Hal ini bisa menjadi sentimen positif yang mendongkrak kinerja rupiah di pekan ini, dan membuka peluang ke menembus ke bawah Rp 14.000/US$.
