Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Padahal pelaku pasar sedang menahan diri setelah cukup lama bermain 'menyerang'.
Pada Kamis (26/11/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.100 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,21% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Rupiah belum bisa dilepaskan dari tren penguatan. Dalam sebulan terakhir, mata uang Tanah Air menguat 3,42% di hadapan dolar AS. Sedangkan sejak akhir kuartal III-2020 hingga kemarin (quarter-to-date/QtD), rupiah terapresasi 4,78%.
Namun secara umum investor sebenarnya sedang malas mengoleksi aset-aset berisiko. Risk appetite yang rendah ini terlihat di bursa saham New York. Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Down Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi 0,58% dan S&P 500 berkurang 0,16%.
Investor ingin rehat sejenak setelah pasar menjalani reli panjang. Dalam sebulan terakhir, DJIA melonjak 12,72% dan secara QtD melesat 7,53%. Sementara S&P 500 dalam sebulan terakhir dan QtD masing-masing 'terbang' 11,01% dan 7,94%.
 Sumber: Refinitiv |
Selain itu, investor juga mencemaskan dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) terhadap perekonomian yang semakin hari semakin mengerikan. Pada pekan yang berakhir 21 November, jumlah klaim tunjangan pengangguran AS naik 30.000 menjadi 778.000, di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 730.000. Klaim tunjangan pengangguran naik dalam dua pekan beruntun.
"Dalam beberapa pekan terakhir, pelaku pasar kesulitan menjadi berita negatif. Sekarang ada data ketenagakerjaan, yang menyadarkan kita bahwa tantangan jangka pendek masih sangat besar," kata Christopher Grisanti, Chief Equity Strategist di MAI Capital Management yang berbasis di Ohio, seperti diberitakan Reuters.
Pelaku pasar cemas bahwa kemungkinan pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam tidak secepat yang diperkirakan. Ternyata dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) tidak bisa hlang begitu saja, 'luka' yang begitu dalam masih sangat terasa.
"Data ini menyadarkan kita bahwa pemulihan ekonomi tidak merata. Masyarakat kelas menengah-atas bisa berbelanja seperti tidak terjadi apa-apa. Namun mereka yang di bawah harus mengantre untuk mendapatkan makanan gratis dan kesempatan kerja yang sepertinya jauh dari pandangan," tegas Chris Rupkey, Chief Economist MUFG yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA