
Saham Properti Siap 'Meledak' Lagi, Ada yang Murah Dikoleksi?

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga saham-saham yang bergerak di sektor properti berhasil melesat pada perdagangan kemarin, Kamis (19/11/2)) setelah keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan.
Sektor properti memang secara historis diuntungkan akan hal ini sebab dengan penurunan suku bunga acuan hal ini tentunya akan menekan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah alias KPR yang nantinya akan meningkatkan penjualan properti.
Meskipun nantinya dibutuhkan jeda untuk transmisi dari penurunan suku bunga yang akhirnya dapat ditranslasikan menjadi penurunan KPR, para pelaku pasar sudah mulai optimistis hal ini akan menjadi sentimen yang sangat positif bagi sektor properti.
Hal ini sendiri ditunjukkan dari harga saham-saham sektor properti yang berhasil melesat menyentuh level Auto Reject Atas (ARA). Hal ini wajar mengingat penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate kali ini merupakan penurunan yang historis karena menjadi yang terendah sepanjang sejarah.
Suku bunga KPR saat ini berada di kisaran 8% hingga 10% meskipun sudah turun jauh dari posisi awal tahun yakni di kisaran 11% hingga 13%, di mana kala itu suku bunga acuan masih berada di angka 4,75% sehingga suku bunga KPR diprediksikan masih bisa turun sekitar 1% lagi.
Meskipun demikian, bagaimana sebenarnya dampak kenaikan suku bunga terhadap saham-saham properti?
Apakah memiliki potensi untuk kembali menghijau pada perdagangan hari ini, Jumat (20/11)?
Apakah saham properti sudah tergolong mahal? Simak tabel berikut.
Terpantau dari 7 emiten properti, 6 di antaranya berhasil menghijau dan hanya 1 yang terkoreksi, itu pun turun tipis saja.
Kenaikan hari ini dipimpin oleh PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) yang berhasil terbang menyentuh level auto reject atasnya (ARA) yakni 35% di level harga Rp 162/unit.
Meskipun sudah terbang tinggi, sejatinya harga saham APLN masih menjadi yang termurah dibandingkan dengan emiten properti lain apabila menggunakan metode valuasi harga buku dibandingkan dengan harga pasarnya (price to book value, PBV) yakni 0,45 kali. Angka tersebut masih jauh di bawah rata-rata industri di angka 1,1 kali.
PBV adalah rasio harga terhadap nilai buku, biasa digunakan untuk melihat seberapa besar kelipatan dari nilai pasar saham perusahaan dengan nilai bukunya. Misalkan PBV sebesar 3x, artinya harga saham sudah tumbuh sebesar 3 kali lipat dibandingkan kekayaan bersih perusahaan.
Kenaikan harga saham APLN yang terbang menyentuh level ARA yang biasanya menunjukkan bahwa kenaikan pada hari tersebut belum cukup untuk 'memuaskan' pasar sehingga masih ada potensi kenaikan pada perdagangan hari ini, paling tidak pada awal perdagangan.
Walaupun demikian valuasi laba bersih dibandingkan dengan harga saham (PER, price to earnings) APLN tidak dapat dianalisis karena pada 9 bulan tahun 2020 ini belum mampu membukukan keuntungan pascadiserang krisis corona, begitu pula dengan mayoritas emiten properti lain.
PER adalah perbandingan antara harga saham dengan laba bersih perusahaan.
Apresiasi tinggi lainnya juga dibukukan oleh PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) dan PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) yang berhasil terbang masing-masing 29,90% dan 19,40%.
Valuasi PBV keduanya juga masih tergolong menarik karena masih berada di bawah rata-rata industri yakni masing-masing 0,53 dan 0,43 kali, meskipun lagi-lagi valuasi PER tidak dapat dianalisis karena kedua perseroan masih membukukan rugi bersih.
Koreksi hanya dibukukan oleh PT Ciputra Development Tbk (CTRA) yang turun tipis 0,55% ke level Rp 910/unit.
Meskipun terkoreksi CTRA menjadi salah satu emiten properti yang masih mampu membukukan laba pada tahun 2020 meskipun turun jauh yakni Rp 540 miliar yang merepresentasikan PER sebesar 49,82 kali.
Sedangkan PBV CTRA tergolong wajar di angka 1,14 kali karena berada di sekitar rata-rata industri.
Sejatinya potensi sektor properti untuk kembali menghijau pada perdagangan kali ini sangat terbuka mengingat kado historis dari Gubernur BI, Perry Warjiyo datang secara tiba-tiba terutama untuk emiten-emiten yang belum sempat naik tinggi atau bahkan terkoreksi pada perdagangan kemarin.
Sebelumnya Kamis kemarin, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan. Ini di luar ekspektasi pelaku pasar.
Rapat Dewan Gubernur BI edisi November 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar25 basis poin (bps) menjadi 3,75%. Sementara suku bunga Deposit Facility turun menjadi 3% dan suku bunga Lending Facility sekarang di 4,5%.
"Keputusan ini mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap rendah,stabilitas eksternal yang terjaga dan langkah pemulihan ekonom nasional," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG.
Hal ini tidak diperkirakan oleh pelaku pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dan Reuters menghasilkan proyeksi BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap di 4%.
Artinya, suku bunga acuan berubah untuk kali pertama sejak Juli atau empat bulan. BI 7 Day Reverse RepoRate kini berada di di posisi terendahsejak diperkenalkan pada Agustus 2016 menggantikan BI Rate.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!