
Diborong Investor, Rupiah Tumpas Dolar & Mata Uang Dunia!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sukses membukukan penguatan enam pekan beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) minggu ini. Bahkan sempat menembus ke bawah level Rp 14.000/US$ dan berada di level terkuat dalam 5 bulan terakhir.
Tidak hanya itu, rupiah juga berjaya di Benua Asia dan Eropa. Melansir data Refinitiv, sepanjang pekan ini rupiah menguat 0,28% melawan dolar AS di Rp 14.150/US$. Mata Uang Eropa disapu bersih, euro melemah 0,62%, franc Swiss merosot 1,59%, krona Swedia minus 1,15%, sementara poundsterling melemah tipis 0,05%.
Di Asia, rupiah menguat melawan mayoritas mata uang utama, hanya melemah melawan won Korea Selatan, baht Thailand, dan dolar Taiwan.
Aliran investasi yang besar masuk ke dalam negeri dalam 2 pekan terakhir membuat rupiah perkasa.
Data Bank Indonesia menunjukkan pada periode 2-5 November 2020, transaksi nonresiden di pasar keuangan domestik membukukan beli neto Rp3,81 triliun. Rinciannya, beli neto di pasar SBN sebesar Rp3,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 60 miliar.
Sementara data dari Bursa Efek Indonesia menunjukkan sepanjang pekan lalu, investor asing melakukan aksi beli (net buy) sebesar Rp 1,2 triliun. Sepanjang pekan ini bahkan lebih besar lagi, Rp 4,45 triliun masuk ke pasar saham dalam negeri.
Sementara dari pasar obligasi, lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara pada Selasa (10/11/2020) lalu kelebihan permintaan (oversubscribed) 2 kali lipat dengan total penawaran yang masuk sebesar Rp 22,6 triliun, lebih tinggi dari penawaran yang masuk dalam lelang 2 pekan sebelumnya Rp 20,9 triliun.
Target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 10 triliun, dan dimenangkan dengan nilai yang sama.
Besarnya aliran modal tersebut terjadi setelah hasil pemilihan presiden AS 3 November lalu menunjukkan kemenangan Joseph 'Joe' Biden dari Partai Demokrat dalam pilpres AS melawan petahana Donald Trump dari Partai Republik.
Kemenangan Biden dianggap menguntungkan negara-negara emerging market seperti Indonesia, sebab perang dagang AS-China kemungkinan akan berakhir atau setidaknya tidak memburuk.
Analis dari Citi memprediksi kemenangan Joe Biden ke depannya dolar AS akan melemah dan mata uang emerging market akan menjadi yang paling diuntungkan. Alasannya, seperti yang disebutkan sebelumnya, perang dagang dengan China kemungkinan akan berakhir, selain itu pemerintahan akan kembali konvensional.
"Mungkin perdagangan internasional yang paling terlihat pasti usai pilpres. Kebijakan luar negeri AS akan lebih bisa diprediksi tanpa ancaman kenaikan bea impor. Kami melihat penurunan dolar AS, dan penguatan mata uang emerging market," tulis analis Citi, sebagaimana dilansir CNBC International.
Selain itu, stimulus fiskal yang akan digelontorkan juga akan lebih besar ketimbang yang akan digelontorkan Trump dan Partai Republik. Negara-negara emerging market seperti Indonesia juga berpotensi kecipratan aliran modal.
Selain itu, vaksin virus corona dari Pfizer yang dilaporkan mampu menangkal virus hingga lebih dari 90% membuat pelaku pasar semakin ceria, hingga mengalirkan investasi ke negara-negara emerging market dengan imbal hasil tinggi seperti Indonesia.
Kabar bagus datang dari hasil survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan investor asing mulai "memborong" rupiah lagi.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (12/11/2020) kemarin menunjukkan angka -1,01, melesat dari 2 pekan lalu yang masih positif 0,09. Angka negatif tersebut merupakan yang terbesar dalam 6 tahun terakhir.
Semakin besar angka negatif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi beli (long) rupiah, artinya investor "memborong" rupiah, mengingat angka meniusnya terbesar dalam 6 tahun terakhir.
Survei tersebut kosisten dengan pergerakan rupiah di tahun ini, kala angka positif maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.
Di bulan Januari saat hasil survei menunjukkan angka negatif rupiah terus menguat melawan dolar AS. Pada 24 Januari, rupiah membukukan penguatan 2,29% secara year-to-date (YtD), dan menjadi mata uang terbaik di dunia kala itu.
Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor. Rupiah pun ambruk nyaris 20% Ytd ke ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni. Namun sejak saat itu, hasil survei didominasi posisi short kembali, hingga akhirnya investor mengambil posisi long lagi di pekan ini.
Dengan posisi long yang mencapai level tertinggi 6 tahun, rupiah tentunya berpeluang menguat lagi ke depannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS