Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.150/US$ pada perdagangan Jumat (13/11/2020). Dengan demikian, rupiah membukukan pelemahan 3 hari beruntun.
Meski demikian, kabar bagus datang dari hasil survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan pelaku pasar mulai "nyerok" rupiah lagi.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (12/11/2020) kemarin menunjukkan angka -1,01, melesat dari 2 pekan lalu yang masih positif 0,09. Angka negatif tersebut merupakan yang tertinggi dalam 6 tahun terakhir.
Semakin tinggi angka negatif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi beli (long) rupiah, yang artinya Mata Uang Garuda kembali dicintai.
Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah di tahun ini, kala angka positif maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.
Di bulan Januari saat hasil survei menunjukkan angka negatif rupiah terus menguat melawan dolar AS. Pada 24 Januari, rupiah membukukan penguatan 2,29% secara year-to-date (YtD), dan menjadi mata uang terbaik di dunia kala itu.
Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor. Rupiah pun ambruk nyaris 20% Ytd ke ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni. Namun sejak saat itu, hasil survei didominasi posisi short kembali, hingga akhirnya investor mengambil posisi long lagi di pekan ini.
Dengan posisi long yang mencapai level tertinggi 6 tahun, rupiah tentunya berpeluang menguat lagi ke depannya.
Pemicu utama penguatan berbaliknya posisi yang diambil pelaku pasar adalah kemenangan Joseph 'Joe' Biden dari Partai Demokrat dalam pilpres AS melawan petahana Donald Trump dari Partai Republik.
Kemenangan Biden dianggap menguntungkan negera-negara emerging market seperti Indonesia, sebab perang dagang AS-China kemungkinan akan berakhir atau setidaknya tidak memburuk.
Analis dari Citi memprediksi kemenangan Joe Biden ke depannya dolar AS akan melemah dan mata uang emerging market akan menjadi yang paling diuntungkan. Alasannya, seperti yang disebutkan sebelumnya, perang dagang dengan China kemungkinan akan berakhir, selain itu pemerintahan akan kembali konvensional.
"Mungkin perdagangan internasional yang paling terlihat pasti usai pilpres. Kebijakan luar negeri AS akan lebih bisa diprediksi tanpa ancaman kenaikan bea impor. Kami melihat penurunan dolar AS, dan penguatan mata uang emerging market," tulis analis Citi, sebagaimana dilansir CNBC International.
Hal senada diungkapkan Adam Margolis, kepala strategi valuta asing, komoditas dan suku bunga di JPMorgan Private Bank, dalam acara "Street Signs Asia" CNBC kemarin. Menurutnya kemenangan Biden mengurangi risiko geopolitik yang terjadi. Pelaku pasar dikatakan mencari peluang untuk mengurangi eksposur dolar AS.
Selain itu, stimulus fiskal yang akan digelontorkan juga akan lebih besar ketimbang yang akan digelontorkan Trump dan Partai Republik.
Nancy Pelosi, Ketua House of Representative (DPR) dari Partai Demokrat sebelumnya mengajukan stimulus fiskal dengan nilai US$ 2,2 triliun, yang tidak disepakati oleh Pemerintahan Trump, dan ditolak oleh Partai Republik.
Semakin besar stimulus artinya semakin banyak uang yang beredar di perekonomian, secara teori dolar AS akan melemah.
Negara-negara emerging market seperti Indonesia juga berpotensi kecipratan aliran modal.
Aliran investasi memang deras mengalir ke dalam negeri. Data Bank Indonesia menunjukkan pada periode 2-5 November 2020, transaksi nonresiden di pasar keuangan domestik membukukan beli neto Rp3,81 triliun. Rinciannya, beli neto di pasar SBN sebesar Rp3,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 60 miliar.
Sementara data dari Bursa Efek Indonesia menunjukkan sepanjang pekan lalu, investor asing melakukan aksi beli (net buy) sebesar Rp 1,2 triliun. Sepanjang pekan ini bahkan lebih besar lagi, sekitar Rp 4 triliun masuk ke pasar saham dalam negeri.
Sementara dari pasar obligasi, lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara pada Selasa (10/11/2020) lalu kelebihan permintaan (oversubscribed) 2 kali lipat dengan total penawaran yang masuk sebesar Rp 22,6 triliun, lebih tinggi dari penawaran yang masuk dalam lelang 2 pekan sebelumnya Rp 20,9 triliun.
Target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 10 triliun, dan dimenangkan dengan nilai yang sama.
Besarnya aliran modal ke negara-negara emerging market tidak lepas dari imbal hasil (yield) yang relatif lebih tinggi ketimbang negara-negara maju.
Di Indonesia, yield SBN tenor 10 tahun berada di kiasaran 6,3%, tentunya sangat jauh dengan obligasi AS (Treasury) tenor yang sama yang hanya 0,87%. Belum lagi jika memperhitungkan inflasi, yield tersebut bisa lebih rendah lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA