BI Restui Rupiah Terus Menguat, Apa Untungnya?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 November 2020 17:11
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menunjukkan kinerja impresif melawan dolar Amerika Serikat (AS) sejak pekan lalu, merespon hasil pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) serta vaksin virus corona dari Pfizer.

Perusahaan farmasi asal AS tersebut berkolaborasi dengan BioNTech asal Jerman, dan mengumumkan vaksin buatannya efektif menangkal penyakit akibat virus corona (Covid-19) hingga lebih dari 90% tanpa efek samping yang berbahaya.

Chairman & CEO Pfizer Albert Bourla mengatakan perkembangan terakhir tersebut menjadi hari yang indah bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Efikasi final dari vaksin tersebut dikatakan aman.

"Hasil pertama dari uji klinis fase tiga uji vaksin mengindikasikan kemampuan vaksin kami untuk mencegah Covid-19," ujar Bourla dalam pernyataannya, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (9/11/2020). 

Kabar tersebut memunculkan harapan hidup akan segera kembali normal, roda bisnis perlahan kembali berputar, dan perekonomian segera bangkit. Sentimen pelaku pasar jadi membaik, dan menopang penguatan rupiah.

Sebelum melemah 0,21% ke Rp 14.070/US$ pada hari ini, rupiah sudah membukukan penguatan 6 hari beruntun dengan total 4%, dan berada di level terkuat dalam 5 bulan terakhir.

Kabar vaksin Pfizer tersebut membuat rupiah menjadi punya modal tambahan untuk terus melaju kencang setelah sebelumnya ditopang hasil pemilihan presiden AS yang menunjukkan kemenangan Joseph 'Joe' Biden dari Partai Demokrat, melawan petahana dari Partai Republik, Donald Trump.

Kemenangan Biden dianggap menguntungkan negara-negara emerging market seperti Indonesia, sebab perang dagang AS-China kemungkinan akan berakhir atau setidaknya tidak memburuk. Selain itu, stimulus fiskal juga akan lebih besar ketimbang yang akan digelontorkan Trump dan Partai Republik.

Negara-negara emerging market seperti Indonesia juga berpotensi kecipratan aliran modal yang membuat rupiah perkasa.

Terbukti, Data Bank Indonesia menunjukkan pada periode 2-5 November 2020, transaksi nonresiden di pasar keuangan domestik membukukan beli neto Rp3,81 triliun. Rinciannya, beli neto di pasar SBN sebesar Rp3,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 0,06 triliun.

Sementara data dari Bursa Efek Indonesia menunjukkan sepanjang pekan lalu, investor asing melakukan aksi beli (net buy) sebesar Rp 1,2 triliun. Aksi beli masih berlangsung di pekan ini, sebesar Rp 189 miliar di hari Senin, Rp 1,73 triliun kemarin, dan Rp 1,4 triliun hari ini.

Sementara dari pasar obligasi, lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara pada Selasa (10/11/2020) lalu kelebihan permintaan (oversubscribed) 2 kali lipat dengan total penawaran yang masuk sebesar Rp 22,6 triliun, lebih tinggi dari penawaran yang masuk dalam lelang 2 pekan sebelumnya Rp 20,9 triliun.

Target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 10 triliun, dan dimenangkan dengan nilai yang sama.

Aliran modal yang masuk ke dalam negeri tersebut membuat rupiah menjadi perkasa. Bank Indonesia (BI) juga "merestui" rupiah untuk terus menguat.

"Bank Indonesia melihat ruang bagi Rupiah untuk terus menguat masih lebar, karena Rupiah secara real masih undervalued atau masih terlalu murah dari perspektif neraca transaksi berjalan, selisih inflasi, serta selisih suku bunga Rupiah dan Valuta Asing," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah. 

"BI akan memberikan ruang bagi rupiah untuk berlanjut menguat sesuai nilai fundamental nya," tegasnya.

Lebih lanjut, Nanang menjelaskan secara keseluruhan neraca transaksi berjalan (current account) diperkirakan akan beralih menjadi surplus di kuartal III-2020 ini, setelah sempat defisit US$ 2,9 miliar di kuartal II-2020.

Kemudian memperhitungkan inflasi di September 2020 yang hanya 0,07% atau 1,44% year to date, dan dengan perkiraan akan berada di batas bawah target inflasi 2020, maka secara perhitungan real, nilai tukar rupiah saat ini masih "sangat undervalued".

Meski sedang menunjukkan kinerja impresif belakangan ini, tetapi sepanjang tahun atau secara year-to-date (YtD), rupiah masih sebenarnya masih membukukan pelemahan 1,4%

Rupiah pada 24 Januari lalu sempat membukukan penguatan lebih dari 2% YtD ke Rp 13.565/US$, dan digadang-gadang akan menjadi salah satu mata uang terbaik di tahun ini.

Sayangnya, semua buyar setelah virus corona menyerang. Nilai tukar rupiah langsung babak belur, sempat jeblok nyaris 20% YtD ke Rp 16.620/US$ pada 23 Maret lalu, menjadi level terlemah sejak krisis moneter 1998. Perekonomian Indonesia juga dibuat terpuruk. 

Di kuartal III-2020, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 3,49% year-on-year (YoY), sementara di tiga bulan sebelumnya minus 5,32% YoY. Sehingga Indonesia sah mengalami resesi untuk pertama kalinya dalam 22 tahun terakhir.

Guna memerangi pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) dan memulihkan kembali perekonomian pemerintah menggelontorkan anggaran nyaris Rp 1.000 triliun, dengan salah satu sumber pembiayaannya melalui utang.

Alhasil, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per akhir Agustus 2020 tercatat US$ 413,4 miliar naik 5,7% dibandingkan posisi periode yang sama tahun sebelumnya (YoY).

Mengutip keterangan tertulis Bank Indonesia (BI), Kamis (15/10/2020), ULN terdiri dari pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 203 miliar dolar plus swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 210,4 miliar. Pertumbuhan ULN pada Agustus lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar 4,2% YoY.

Nilai tukar rupiah yang terus menguat tentunya bisa mengurangi biaya pembayaran utang baik itu utang pemerintah maupun swasta.

Selain itu, penguatan rupiah juga bisa menurunkan biaya impor migas pemerintah, sehingga beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi berkurang.

Impor migas merupakan salah satu pengeluaran terbesar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang Januari-September 2019 impor migas Indonesia mencapai US$ 10,6 miliar, yang berkontribusi 10,23% dari total impor.

Selain biaya impor migas yang menurun jika rupiah menguat, importir di Tanah Air tentunya juga akan diuntungkan. Apalagi di saat perekonomian dalam negeri sedang mengalami resesi, biaya impor barang modal yang lebih murah untuk sektor manufaktur tentunya dapat lebih menggairahkan roda bisnis.

Meski demikian, penguatan rupiah juga memberikan dampak kurang bagus bagi eksportir dalam negeri. Produk-produk yang dihasilkan menjadi kurang kompetitif, yang biasa berdampak pada penurunan permintaan.

Sehingga, meski saat ini rupiah masih dibiarkan untuk terus menguat, pada titik tertentu BI pasti akan bertindak agar rupiah tidak menguat kebablasan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular