
Makasi Om Biden, Walau 'Kemurahan' Rupiah Primadona Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Nasib nilai tukar rupiah sedang mujur minggu ini. Greenback sedang jadi bulan-bulanan para pelaku pasar. Tak tanggung-tanggung rupiah pun dinobatkan sebagai mata uang Asia dengan kinerja paling impresif dalam hal melibas dolar AS.
Ada dua hal yang menjadi sorotan di pasar keuangan sepekan terakhir. Pertama adalah jalannya kontestasi politik di AS dan kedua adalah rilis data pertumbuhan ekonomi nasional kuartal ketiga tahun 2020.
Pertarungan antara kubu Demokrat dengan Republik berlangsung dengan sengit. Biden yang diunggulkan dalam berbagai poling nasional pra-pilpres saat awal-awal penghitungan suara langsung meraup suara elektoral terbanyak.
Namun selang tak berapa lama rivalnya Trump berhasil mendekati perolehan suara elektoral mantan wakil presiden AS era Barrack Obama itu. Sistem pemilu AS berbeda dengan yang dilaksanakan di Indonesia.
Jika di dalam negeri menganut one man one vote yang berdampak suara setiap individu dihitung untuk menentukan kandidat yang terpilih jadi presiden, di AS sedikit berbeda.
Sejak tahun 1787 AS menganut sistem electoral college. Meski menuai pro-kontra sistem demokrasi tak langsung tersebut masih terus dipelihara hingga berusia lebih dari dua abad.
Dalam sistem tersebut setiap warga AS memilih presiden secara tidak langsung dengan menggunakan lembaga pemilih (electoral college) yang setiap negara bagian diberi jatah berbeda disesuaikan dengan ukuran populasinya.
Jumlah suara elektor yang diraup inilah yang menentukan siapa yang berhasil melenggang ke Gedung Putih dan didapuk sebagai presiden AS ke-46 untuk memimpin negeri adikuasa empat tahun ke depan.
Keunggulan Biden dinilai akan lebih menguntungkan bagi negara berkembang (emerging market) salah satunya Indonesia. Biden dari Demokrat, dan partai berwarna biru tersebut cenderung berani mengusulkan pemberian bantuan stimulus fiskal yang nominalnya sangat besar jika dibandingkan dengan usulan Republik maupun pemerintah.
Kebijakan fiskal yang ekspansif dengan defisit anggaran yang membengkak ke level tertinggi sejak perang dunia kedua tersebut membuat dolar AS melemah. Ketika hal tersebut terjadi, akan ada aliran modal keluar dari AS (capital outflow).
Apalagi jika pria yang berusia tiga tahun lebih tua dari Trump tersebut terpilih akan menaikkan pajak korporasi. Ini akan semakin membuat aliran modal keluar dari AS semakin besar.
Dengan kebijakan moneter yang ultra longgar, uang murah tersebut akan mencari rumah baru untuk tumbuh. Destinasinya tak lain dan tak bukan ya mana lagi kalau bukan negara berkembang dengan suku bunga dan imbal hasil aset keuangan yang masih di zona positif.
Masuknya aliran modal asing ke negara berkembang tentu akan membawa tekanan ke atas harga aset-aset keuangan negara destinasi yang uang murah tersebut tuju.
Dolar benar-benar babak belur minggu ini. Posisi indeks dolar anjlok 2%. Mata uang Asia pun punya momentum untuk menguat tak terkecuali rupiah yang mencatatkan kinerja fantastis.
Di arena pasar spot rupiah berhasil menguat 2,97% di hadapan dolar AS pada periode 2-6 November 2020. Rupiah berhasil jadi juara Asia pekan ini dan sudah dibanderol di bawah Rp 14.200/US$.
Biden memang belum resmi diumumkan sebagai presiden pengganti Trump. Masih ada intrik politik seperti penolakan Trump atas sinyal kekalahannya hingga akan menempuh jalur hukum karena dinilai pemilu yang berlangsung cacat.
Harapan blue wave yang berarti kemenangan mutlak Demokrat mengisi setiap jajaran eksekutif maupun legislatif AS tampaknya juga sulit tercapai karena Senat masih dikuasai Partai Republik.
Kendati demikian pasar keuangan RI sudah mulai kebanjiran dana asing. Bank Indonesia (BI) mencatat berdasarkan data transaksi 2-5 November 2020, nonresiden di pasar keuangan domestik beli neto Rp3,81 triliun, dengan beli neto di pasar SBN sebesar Rp3,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp0,06 triliun.
Dalam seminggu asing juga banyak memborong aset ekuitas domestik dengan total aksi beli bersih sebesar Rp 1,2 triliun di seluruh pasar. Inflow inilah yang juga mendukung rupiah untuk menguat.
BI menilai dengan harga saat ini, rupiah masih termasuk kemurahan (undervalued). Hal tersebut diungkapkan oleh direktur pengelolaan moneter bank sentral nasional RI Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif.
Nanang menilai tingkat inflasi yang rendah, yield diferensial SBN serta potensi besar surplus transaksi berjalan untuk pertama kalinya dalam sembilan tahun terakhir menjadi alasan mengapa saat ini rupiah masih belum berada di level fundamentalnya.
Selain sentimen dari luar negeri, angka keramat berupa pertumbuhan PDB nasional juga menjadi hal yang disorot oleh pasar. BPS melaporkan output perekonomian Indonesia terkontraksi 3,49% (yoy) pada kuartal ketiga.
Kontraksi dua kuartal berturut-turut untuk periode tahunan membuat Indonesia resmi resesi untuk pertama kalinya sejak krisis moneter tahun 1998. Kontraksi memang mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia tidak sedang baik-baik saja.
Namun kontraksi yang lebih kecil dibandingkan dengan kuartal kedua sebesar minus 5,32% (yoy) mengindikasikan bahwa perekonomian mulai bergerak ke arah lebih baik meskipun belum pulih benar.
Investor memang tak terkejut bahwa RI akan jatuh ke jurang resesi. Kontraksi kuartal ketiga tahun ini juga sudah diprediksikan di angka minus 3%. Untuk kuartal keempat pertumbuhan PDB RI diperkirakan masih mengalami kontraksi tetapi mengalami perbaikan.
Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan PDB pada periode Oktober-Desember masih akan terkontraksi sebesar 0,6% sampai 1,7% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bak Gatot Kaca, Kekuatan Rupiah Masih Tak Terbendung!
