
Saham BRIS Mentok ARB Terus, Aku Kudu Piye?

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga saham PT Bank BRISyariah Tbk (BRIS) kembali terkoreksi lagi, bahkan koreksi terjadi sejak awal perdagangan Kamis (22/10/20) yakni minus 6,81% menyentuh level auto reject bawah (ARB) di level Rp 1.300/saham.
Bahkan pada penutupan perdagangan kemarin, antrean saham BRIS yang menanti di level ARB di harga Rp 1.300/unit sebanyak 1,22 juta lot atau senilai Rp 159 miliar yang mengindikasikan koreksi akan kembali terjadi pada perdagangan Jumat ini (23/10).
Data BEI mencatat, koreksi ini melanjutkan penurunan tajam saham BRIS pada perdagangan Rabu yang juga kena batas bawah maksimal penurunan sebesar 7%, di harga Rp 1.395/saham, dampak dari harga cash offer (penawaran pembelian saham oleh pengendali dalam rangka merger bank syariah BUMN) saham BRIS yang hanya berada di kisaran Rp 781/saham.
Harga Rp 781/saham ini didapatkan dari valuasi harga wajar BRIS oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Suwendho, Rinaldy dan Rekan. Tim Riset CNBC Indonesia menilai, harga BRIS di saat ini sudah jauh di atas harga wajarnya sehingga terjadinya koreksi.
BRIS saat ini memang dalam proses merger menjadi survivor bank dengan menerima penggabungan dua bank syariah BUMN lainnya yakni PT Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank BNI Syariah (BNIS) dengan target efektif rampung pada 1 Februari 2021.
Dengan terkoreksinya harga sahan BRIS menyentuh level ARB dua hari berturut-turut tentunya membuat para investor bertanya-tanya apa yang sebaiknya dilakukan.
Bagaimana prospek saham BRIS, dan kira-kira ke mana gerak saham BRIS selanjutnya di tengah proses merger ini?
Koreksi saham BRIS memang tidak lain dan tidak bukan karena menurut KJPP harga wajarnya hanya berada di kisaran Rp 781/saham.
Memang setelah melesat tinggi harga saham BRIS dengan valuasi harga pasar dibanding nilai buku (PBV, price to book value) sudah tergolong premium yakni 2,42 kali.
Maka ketika KJPP merilis bahwa harga wajarnya hanyalah Rp 781/saham, sontak pasar merespons dan harga pasar BRIS bergerak ke arah harga wajarnya.
Bahkan pascamerger, nilai buku BRIS akan kembali tergerus karena valuasi KJPP untuk harga wajar BSM dengan PBV sebesar angka 1,64 kali dan BNIS dengan harga wajar di PBV sebesar 1,48 kali lebih mahal daripada harga wajar BRIS dengan PBV sebesar 1,45 kali.
Ini menunjukkan secara proporsional valuasi harga wajar BRIS lebih murah daripada valuasi harga BSM dan BNIS sehingga PBV BRIS saat ini akan tergerus.
Menurut perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia nilai buku BRIS yang telah dilebur berpotensi tergerus ke angka Rp 499/unit yang mencerminkan PBV sebesar 2,5 kali di harga saat ini tergolong lebih mahal apabila dibandingkan dengan rata-rata PBV industri perbankan di angka 1,5 kali.
Akan tetapi perlu diingat yang pertama, valuasi wajar KJPP untuk saham BRIS di harga Rp 781/saham adalah valuasi per Juni 2020 dengan asumsi kegiatan usaha BRIS secara berkesinambungan (going concern).
Artinya valuasi wajar BRIS tersebut per kuartal kedua 2020 dan bukan valuasi saat ini di bulan Oktober.
Tentu saja valuasi Oktober sudah berubah, dan valuasi tersebut merupakan valuasi BRIS going concern saja tanpa mengakomodasi prospek usaha BRIS yang nantinya akan dilebur menjadi perbankan syariah terbesar di Indonesia dan memiliki ekspektasi usaha dan pertumbuhan yang cerah.
Selanjutnya perlu diingat, meskipun nantinya setelah dimerger nilai buku BRIS kemungkinan tergerus.
Akan tetapi nantinya laba per saham BRIS juga berpotensi naik karena BSM dan BNIS yang dilebur lebih profitable dibanding BRIS.
Di posisi saat ini, dengan laba bersih sebesar Rp 117 miliar maka laba per saham (earnings per share/EPS) pemegang saham BRIS jika disetahunkan adalah Rp 24/unit.
Setelah dilebur, total laba bersih 'Bank Amanah' (nama baru bank hasil merger dari kabar pasar) akan sebesar Rp 1,1 triliun atau apabila disetahunkan akan berada di angka Rp 2,2 triliun, yang merepresentasikan EPS sebesar Rp 53,8/unit atau kenaikan sebesar 124,16%.
EPS tersebut merepresentasikan valuasi harga pasar dibandingkan dengan laba bersih (PER) di angka 24,16 kali memang masih lebih mahal apabila dibandingkan dengan rata-rata industri perbankan di angka 10,4 kali.
Meskipun demikian, walaupun valuasinya sudah berada di atas rata-rata industri baik menggunakan metode PBV dan PER, akan tetapi prospek pertumbuhan bank syariah hasil merger yang cemerlang inilah yang menyebabkan banyak investor mengkategorikan BRIS sebagai growth stock alias saham dengan prospek usaha ke depan yang sangat pesat.
Hal ini mengingat bank syariah hasil merger ini nantinya akan menguasai pangsa pasar perbankan syariah baik dari segi aset, pembiayaan, maupun pengumpulan Dana Pihak Ketiga (DPK).
Dengan demikian, apabila investor ingin menyimpan saham ini dalam jangka panjang, masih sangat menarik.
Akan tetapi apabila anda bukanlah seorang investor melainkan seorang trader dengan timeframe pendek hingga menengah maka ada baiknya untuk keluar terlebih dahulu.
Pasalnya, saat ini BRIS sedang dalam tren penurunan setelah jatuh ke level ARB-nya selama 2 hari berturut-turut dan menunjukkan akan adanya tren koreksi lanjutan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saham BRIS Kena ARB terus, yang Sudah Punya Jual atau Hold?
