
Simak 7 Kabar Ini, Biar Ada Panduan untuk Cari Cuan

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham domestik berakhir di teritori negatif pada perdagangan Selasa kemarin dengan pelemahan 0,51% ke level 5.099,84 poin di tengah tekanan jual yang masih besar.
Data perdagangan mencatat, nilai transaksi Indeks Harga Saham Gabungan mencapai Rp 9,22 triliun dengan volume 10,05 miliar unit saham. Pelaku pasar asing kemarin melakukan jual bersih sebesar Rp 168,56 miliar. Sedangkan, sejak awal tahun sebesar Rp 47,10 triliun.
Beberapa saham yang paling banyak ditransaksikan antara lain, BRIS, ANTM, HMSP, TLKM dan AGRO.
Sebelum memulai perdagangan Rabu (21/10/2020), cermati aksi dan peristiwa emiten berikut ini yang dihimpun dalam pemberitaan CNBC Indonesia:
1. Begini Rencana Besar Kantor Erick Thohir untuk Telkom
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebut pandemi Covid-19 ini menjadi peluang bagi sejumlah perusahaan pelat merah untuk melakukan transformasi bisnisnya. Tak terkecuali bagi perusahaan penyedia jasa telekomunikasi terbesar di negeri ini, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM).
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan selama ini Telkom hanya mengandalkan kinerja dari anak usaha PT Telkomsel untuk bisnis telekomunikasi mobile. Namun dengan adanya pandemi yang membuat terbatasnya pergerakan masyarakat, justru bisnis broadband dan fiber menjadi lebih tinggi permintaannya.
"Sehinggaa Telkom akan bergeser sehingga pertumbuhan dari broadband dan fiber akan menjadi katalis untuk bisa mendorong pertumbuhan Telkom ke depan. Karena dengan pertumbuhan pola kerja dan pola komunikasi masyarakat tentunya kebutuhan fiber dan broadband akan meningkat tajam," kata Kartika dalam acara Capital Market Summit & Expo 2020 yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (20/10/2020).
2. Alert! 40% Surat Utang Korporasi Berisiko Tinggi Saat Pandemi
Pandemi virus Corona berdampak pada terganggunya arus kas perusahaan-perusahaan. Hal ini juga meningkatkan risiko atas penerbitan surat utang korporasi.
Berdasarkan data PT Pemeringkat Efek Indonesia, sampai saat ini ada 135 perusahaan yang menerbitkan surat utang korporasi dengan nilai outstanding mencapai Rp 418,21 triliun.
Dari jumlah tersebut, ternyata ada 54 perusahaan yang surat utangnya berisiko tinggi (high) atau setara 40% dari total outstanding Rp 183,06 triliun. Lalu, sebanyak 53 perusahaan atau 39,3% berisiko moderat dengan outstanding Rp 139,21 triliun. Sedangkan, surat utang korporasi dengan risiko sangat tinggi (very high) ada sebanyak 7 perusahaan senilai Rp 13,78 triliun.
Direktur Utama Pefindo, Salyadi Saputra menuturkan, pandemi tidak hanya menghantam perusahaan-perusahaan BUMN, melainkan juga perusahaan asing dan perusahaan besar nasional.
"Pandemi ini betul betul berpengaruh kepada emiten surat utang korporasi. Mudah-mudahan pasar surat utang di Indonesia tidak begitu banyak yang default. Ada perusahaan BUMN, perusahaan asing, kemampuan mereka bertahan cukup tinggi," kata Salyadi, dalam webinar bertajuk Restrukturisasi dan Tindakan Korporasi, Selasa (20/10/2020).
3. Buka-bukaan Bos Adaro tentang UU Minerba sampai Omnibus Law
Sektor mineral dan batu bara dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi sorotan, terutama karena pemerintah telah mengeluarkan peraturan baru terkait sektor ini, mulai dari disahkannya Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara pada Mei lalu dan belum lama ini UU tentang Cipta Kerja juga turut menambahkan sejumlah peraturan terkait mineral dan batu bara.
Sejumlah pihak mendukung peraturan baru pemerintah ini, namun tak sedikit pula yang menentang dan mengkritisi kedua UU ini. Lantas, bagaimana tanggapan dari salah satu produsen batu bara terbesar di Indonesia tentang kedua undang-undang baru ini? Apakah ini positif untuk meningkatkan investasi perusahaan batu bara, terutama dalam upaya meningkatkan hilirisasi batu bara?
Menurut Boy, Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang salah satunya mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada batu bara, pihaknya tidak mempermasalahkan hal ini. Hal ini lantaran pada periode 1985-2000 pemerintah sempat mengenakan PPN pada batu bara, namun pada 2001 diubah menjadi barang bukan kena pajak (PPN). Oleh karena itu, menurutnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkan klausul ini hanya untuk memperjelas jika batu bara memang barang kena pajak (BKP).
"Karena produk-produk mineral lainnya itu juga sudah termasuk BKP, lucu hanya batu bara saja yang selama ini tidak BKP. Kalau ditanya istilahnya keuntungan kerugiannya, untuk kita sih netral-netral saja karena memang sebetulnya ini masalah batu bara kena pajak," paparnya dalam acara diskusi bersama wartawan secara virtual dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-28 Adaro pada Selasa (20/10/2020).