Makin Siang Penguatan Rupiah Makin Tipis, Bisa Jadi Merah Nih

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 October 2020 12:43
Warga melintas di depan toko penukaran uang di Kawasan Blok M, Jakarta, Jumat (20/7). di tempat penukaran uang ini dollar ditransaksikan di Rp 14.550. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah garang melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan hari ini, Selasa (6/9/2020). Tetapi, semakin siang penguatan rupiah semakin menipis, bahkan berisiko kembali melemah.

Melansir data Refinitiv, rupiah melesat 1,28% di pembukaan perdagangan ke Rp 14.600/US$. Sayangnya, level tersebut menjadi yang terkuat bagi rupiah hari ini, penguatan terus terpangkas hingga tersisa 0,37% di Rp 14.735/US$ pada pukul 12:00 WIB.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengesahkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja membuat rupiah perkasa.

Rapat Paripurna DPR RI Senin 5 Oktober 2020 mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law Ciptaker) menjadi Undang-undang resmi.

Pengesahan tersebut baru akan direspon pelaku pasar pada hari ini.

"Pengesahan UU ini seharusnya dipandang sebagai sentimen positif. Namun memang dampaknya tidak bisa dirasakan segera," kata Wellian Wiranto, Ekonom OCBC, seperti dikutip dari Reuters.

Sementara itu, Head of Research PT Samuel Sekuritas Indonesia, Suria Dharma berpendapat, Omnibus Law diharapkan menjadi katalis positif bagi iklim investasi di Indonesia kendati saat ini sedang menghadapi pandemi Covid-19.

"[Omnibus Law] cukup memberikan harapan, walau kalau dilihat maksimum pesangon masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara pesaing," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (5/10/2020).

Suria melanjutkan, memang di saat pandemi seperti ini, investor masih akan cenderung wait and see dalam berinvestasi, namun adanya perbaikan dari sisi regulasi diharapkan bisa memberikan katalis positif.

Di sisi lain, dolar AS terkena pukulan ganda dari membaiknya sentimen pelaku pasar, serta ekspektasi cairnya stimulus fiskal.

Kondisi kesehatan Presiden AS, Donald Trump, yang membaik setelah terinfeksi virus corona menjadi pemicu membaiknya sentimen pelaku pasar. Saat sentimen pelaku pasar membaik, investor cenderung mengalirkan investasinya ke aset-aset berisiko, dolar AS menjadi tak menarik.

Sementara itu, jika stimulus fiskal di AS cair, maka jumlah uang beredar akan semakin besar, dan nilai dolar AS pun turun.

Sayanganya, isu resesi Indonesia kembali menggerogoti rupiah. Resesi di kuartal III-2020 sudah pasti akibat lesunya perekonomian, tetapi seberapa dalam kontraksi produk domestick bruto (PDB) yang masih menjadi misteri. Di kuartal II-2020 lalu, PDB mengalami kontraksi 5,32% year-on-year (YoY). 

Satu lagi tanda kelesuan ekonomi Indonesia terlihat. Semakin terkonformasi bahwa Indonesia sudah masuk masa resesi ekonomi.

Tanda tersebut adalah keyakinan konsumen. Bank Indonesia (BI) melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode September 2020 sebesar 83,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 86,9.

IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Kalau masih di bawah 100, maka artinya konsumen punya persepsi yang pesimistis menghadapi samudera ekonomi saat ini dan beberapa bulan mendatang.

Kali terakhir IKK berada di atas 100 adalah pada Maret 2020 dan pada April 2020 sempat berada di titik terendah sejak 2005. Selepas itu IKK mulai membaik dengan kenaikan selama tiga bulan beruntun. Namun pada September 2020 laju kenaikan itu terhenti, IKK kembali terkoreksi.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Rupiah, Juara Asia Semester I-2020 Adalah Peso Filipina

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular