
Terungkap! WanaArtha Pegang Saham 4 Emiten Ini 5% Lebih

Jakarta, CNBC Indonesia- Forum Nasabah WanaArtha Life (Forsawa Bersatu) terus memperjuangkan kejelasan nasib mereka. Para pemegang polis PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha ini menuntut agar Kejaksaan Agung (Kejagung) segera membuka sub rekening efek (SRE) yang sebelumnya diblokir.
Saat ini ada sebanyak sekitar 26.000 nasabah di seluruh Indonesia yang rekeningnya diblokir dengan perkiraan dana mencapai hampir Rp 3 triliun.
Forsawa meminta manajemen WanaArtha segera memberikan penjelasan dan bukti-bukti kepada Kejagung bahwa WanaArtha Life tidak terlibat dan tidak ada aset tersangka kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) atau para tersangka lain di dalam aset Wanaartha Life yang disita.
Hingga saat ini Kejagung masih memblokir sekitar 800 SRE saham dan penyitaan aset terkait kasus Jiwasraya dan menyeret WanaArtha.
Pemblokiran tersebut berujung pada aksi protes para nasabah Wanaartha yang turun ke jalan, bahkan sampai mengirim surat pembukaan blokir rekening efek kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
PT Asuransi Jiwa Adisarana WanaArtha atau dikenal sebagai Wanaartha Life telah mengakui mengalami gagal bayar klaim nasabah, karena rekening efek miliknya diblokir oleh Kejaksaan Agung.
Pemblokiran rekening efek tersebut menyebabkan Wanaartha Life tidak bisa menjual aset portofolionya guna membayar klaim nasabah. Namun sebenarnya apa saja investasi Wanaartha di pasar modal?
Berdasarkan penelusuran CNBC Indonesia dari data Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI) pada 26 Februari 2020, Wanaartha Life memiliki kepemilikan di atas 5% pada empat perusahaan terbuka. Namun, investasi tersebut tidak ditempatkan pada emiten lapis utama bahkan ditempatkan cenderung ke saham-saham yang tidak memiliki likuiditas. Berikut portofolio Wanaartha dengan di saham dengan kepemilikan di atas 5%.
Portofolio Wanaartha terbesar pada emiten di atas 5% ditempatkan di PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (BEKS) dengan porsi kepemilikan 13,86%.
Bank ini sebelumnya bernama Bank Pundi sebelum diakuisisi oleh Pemerintah Provinsi Banten. Wanaartha berinvestasi di BEKS senilai Rp 445 miliar. Saham BEKS sendiri sudah turun ke level terendah yang diijinkan oleh bursa yakni Rp 50/unit sejak 3 tahun terakhir.
Karena sudah anjlok ke level gocap maka saham ini tergolong tidak likuid, sehingga sulit untuk dijual. Akan tetapi baru-baru ini terdapat harapan akan kembali likuidnya saham BEKS karena manajemen akan melakukan aksi korporasi Reverse Stock Split 1:10 untuk kembali menaikan harga saham dan selanjutnya menyuntikkan dana melalui aksi korporasi Right Issue.
Berikutnya PT Hensel Davest Indoensia Tbk (HDIT) dengan kepemilikan sebesar 5,11% senilai Rp 29,7 miliar. Perusahaan ini berdiri pada 2013 bergerak di bidang multi-biller dengan bisnis pertama sebagai dari pulsa elektrik hingga ke prepaid listrik dan biller lainya seperti BPJS dan PDAM. Kemudian, pada 2015 diluncurkan DavestPay untuk menyasar segmen B2C.
Secara tahun berjalan, HDIT sudah anjlok harga sahamnya hingga 42,12%. Saham ini juga tergolong tidak likuid karena volume perdagangan harian saham HDIT tergolong kecil di bawah 100 lot yang ditransaksikan per hari, bahkan terkadang tidak terjadi transaksi sama sekali.
Ketiga, PT Sky Energy Indonesia Tbk (JSKY) yang dimiliki oleh Wanaartha sebanyak 20,33% senilai Rp 142,9 miliar. JSKY merupakan perusahaan energi milik keluarga Tandiono. Perusahaan ini tercatat di bursa pada 28 Maret 2018 dengan menawarkan saham di pasar perdana senilai Rp 400/saham.
Dari keempat saham Wanaartha, saham JSKY merupakan saham yang memiliki likuiditas paling baik bahkan secara tahun berjalan JSKY melesat 64,76% setelah baru-baru ini emiten energi terbarukan ini berhasil terbang tinggi 441% dalam selang waktu kurang lebih 2 minggu sehingga terpaksa disuspensi perdaganganya oleh bursa karena tergolong dalam saham Unusual Market Activity (UMA).
Keempat, PT Kota Satu Properti Tbk (SATU) dengan kepemilikan sebesar 9,61% senilai Rp 6 miliar. Perusahaan ini merupakan pengembang real estate, hotel dan commercial property.
Saham SATU juga menjadi salah satu investasi Wanaartha yang sudah anjlok puluhan persen. Tercatat secara tahun berjalan harga saham SATU sudah anjlok 42,5% ke level terendah yang diijinkan oleh regulator yakni Rp 50/unit.
Anjloknya SATU ke level gocap tentu tidak terlepas dari emiten pengembang properti yang baru saja menyelesaikan sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) pada 3 Juli lalu.
Beruntung, SATU berhasil berdamai dengan 7 dari 8 krediturnya dan diberikan kelonggaran berupa penundaan kewajiban pembayaran selama 32 hari.
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Digitalisasi Picu Investor Ritel Domestik Bursa RI 'Meledak'