
Dolar AS "Dibully" Habis Mata Uang Asia-Eropa di Kuartal III

Jakarta, CNBC Indonesia - Kuartal III-2020 sudah berakhir, secara keseluruhan dolar Amerika serikat (AS) merosot melawan mata uang utama Asia hingga Eropa. Buruknya kinerja dolar AS di kuartal lalu tersebut terlihat dari indeksnya yang turun tajam.
Melansir data Refinitiv, sepanjang kuartal III-2020, indeks dolar AS merosot 3,5%, bahkan sempat ambrol 5,7% ke 91,746 menyentuh level terendah dalam lebih dari 2 tahun terakhir.
Di Asia, yuan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik melawan dolar AS. Sementara dari Eropa ada euro si mata uang 19 negara. Dari keduanya, euro menjadi juaranya dengan penguatan 4,34%, sementara yuan menguat 3,9%.
Semua mata uang utama Eropa menguat melawan dolar AS, sementara di Asia, hanya rupiah dan baht Thailand yang mengalami pelemahan. Sayangnya, pelemahan rupiah jauh lebih besar ketimbang baht, 4,65%, sehingga rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di dunia.
Berikut kinerja dolar AS melawan mata uang dunia di kuartal III-2020.
Buruknya kinerja raja mata uang dunia tersebut terjadi akibat kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang terus menanjak di Negeri Paman Sam. Sehingga pemulihan ekonominya diprediksi akan lebih lambat ketimbang negara-negara lainnya, baik itu di Asia maupun Eropa.
Stimulus moneter dengan nilai jumbo yang digelontorkan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dibarengi dengan stimulus fiskal dari Pemerintahan Presiden AS Donald Trump, membuat perekonomian banjir likuiditas, nilai dolar AS pun melemah.
Pada acara simposium Jackson Hole akhir Agustus lalu, Bos The Fed, Jerome Powell, mengubah pendekatannya terhadap target inflasi. Sebelumnya The Fed menetapkan target inflasi sebesar 2%, ketika sudah mendekatinya maka bank sentral paling powerful di dunia ini akan menormalisasi suku bunganya, alias mulai menaikkan suku bunga.
Kini The Fed menerapkan "target inflasi rata-rata" yang artinya The Fed akan membiarkan inflasi naik lebih tinggi di atas 2% "secara moderat" dalam "beberapa waktu", selama rata-ratanya masih 2%.
Dengan "target inflasi rata-rata" Powell mengatakan suku bunga rendah bisa ditahan lebih lama lagi.
Hal itu dikonfirmasi saat The Fed mengumumkan kebijakan moneter pada pertengahan September lalu, dengan menegaskan suku bunga 0,25% tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.
Nilai tukar yuan menjadi juara di Asia, begitu juga euro juara di Eropa. Kunci penguatan tersebut adalah kesuksesan meredam penyebaran Covid-19.
China, negara asal Covid-19 sudah sejak bulan Maret berhasil meredam penyebaran virus tersebut. Berdasarkan data Worldometer, sejak bulan Mei lalu, rata-rata penambahan kasus per 7 hari tidak pernah lebih dari 100 orang. Alhasil, hingga saat ini, total jumlah kasus di China sebanyak 85.414 orang, dengan 4,634 orang meninggal dunia, dan 80.594 sembuh. Artinya jumlah kasus yang aktif hanya 186 orang.
Bandingkan dengan Amerika Serikat yang hingga saat ini jumlah kasusnya mencapai 7,45 juta orang.
Sukses mengendalikan Covid-19, perekonomian China pun bangkit, produk domestik bruto (PDB) di kuartal II-2020 tumbuh 3,2% year-on-year (YoY), sementara di kuartal sebelumnya negatif 6,8%.
Bagaimana dengan perekonomian AS? negatif 31,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized), sementara di kuartal I-2020 mengalami kontraksi 5%. Negeri Adi Kuasa resmi mengalami resesi.
Eropa sebenarnya juga sudah sukses meredam penyebaran Covid-19, yang membuat nilai tukar euro menjadi juara dunia. Tanda-tanda kebangkitan ekonomi pun sudah mulai terliha dari sektor manufaktur yang kembali berekspansi.
Sayangnya, belakangan ini kembali terjadi peningkatan jumlah kasus Covid-19, yang membuat pembatasan sosial yang lebih ketat kembali diterapkan di beberapa negara. Pemulihan ekonomi zona euro terancam mengalami pelambatan.
Selain peningkatan kasus Covid-19, penguatan euro juga mulai digoyang oleh para pejabat bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB). Anggota dewan ECB, Ignazio Visco mengatakan penguatan euro merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan, dan ECB perlu bertindak jika inflasi menjadi rendah dan semakin menjauhkannya dari target bank sentral.
"Penguatan euro mengkhawatirkan bagi kami karena memberikan tekanan bagi harga saat inflasi sudah rendah," kata Visco yang juga gubernur bank sentral Italia, sebagaimana dilansir Reuters, Minggu (27/9/2020).
Visco juga membantah pendapat anggota dewan terbelah terkait penguatan euro, ia menegaskan apa yang dikatakannya sepemikiran dengan anggota dewan lainnya.
"Implikasi kebijakan moneter sudah jelas, jika penurunan inflasi merusak target kami, kami harus melakukan intervensi," tambahnya.
Alhasil, euro mengalami koreksi di bulan September, memangkas penguatannya sepanjang kuartal III-2020.
Meski demikian, Gubernur ECB, Christine Lagarde, saat mengumumkan kebijakan moneter pada 10 September lalu terlihat masih belum terganggu dengan penguatan euro. Lagarde mengatakan tidak menargetkan nilai tukar euro ada di posisi berapa.
"Dewan Gubernur mendiskusikan apresiasi euro, tapi seperti anda ketahui kami tidak mentargetkan nilai tukar. Tapi kami akan memantau hal tersebut dengan cermat," kata Lagarde.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jadi Korban Keganasan Dolar AS, Euro Anjlok 2% Lebih