Harga Minyak Jatuh 2% Lebih, Mau Sampai Kapan Begini Terus?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 September 2020 08:40
Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia merosot lumayan tajam sepanjang pekan ini. Permintaan diperkirakan anjlok sementara pasokan masih melimpah, yang menyebabkan harga terhempas ke bawah.

Sepanjang minggu ini, harga minyak jenis brent anjlok 2,85%. Sementara yang jenis light sweet ambrol 2,33%.

"Kekhawatiran terhadap gelombang serangan kedua menghantui pasar komoditas, termasuk minyak. Ini yang menjadi beban," kata Phil Flynn, Senior Analyst di Price Futures Group yang berbasis di Chicago, seperti diwartakan Reuters.

Serangan kedua yang dimaksud apa lagi kalau bukan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Selepas Juni, saat dunia dilanda tren pembukaan kembali aktivitas publik (reopening), kasus corona di berbagai negara meningkat tajam.

Berdasarkan catatan Reuters, jumlah pasien positif Covid-19 di seluruh negara per 26 September 2020 adalah 32.623.378 orang. Bertambah 121.002 orang (0,37%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (13-26 September), rata-rata jumlah pasien baru bertambah 275.961 orang per hari. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 268.811 orang per hari.

Lebih mengkhawatirkan lagi, Amerika Serikat (AS) jadi negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia. Jumlah pasien positif Covid-19 di Negeri Paman Sam sudah hampir menyentuh 7 juta orang.

AS adalah negara konsumen minyak terbesar di dunia. Jika virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini terus menghantui kehidupan warga AS, maka aktivitas mereka menjadi terbatas. Selain pemerintah lokal yang mulai kembali mengetatkan pembatasan sosial (social distancing), warga sendiri juga ragu untuk berkegiatan di luar rumah karena khawatir tertular virus.

Penurunan aktivitas berarti mobilitas berkurang. Ketika mobilitas turun, maka permintaan energi pun ikut tertekan.

US Energy Information Adminstration meramal rata-rata permintaan produk minyak pada tahun ini adalah 18,42 juta barel/hari. Turun 10,32% dibandingkan 2019.

Pada saat yang sama, pasokan masih berlimpah. Fasilitas pengeboran (rig) migas di AS bertambah enam menjadi 261 unit per 25 September. Sementara Libya menggenjot pengiriman setelah tidak ada lagi hambatan di pelabuhan.

Iran pun mulai mengekspor minyak meski dalam bayang-bayang sanksi AS. Data TankerTrackers menyebutkan ekspor minyak Negeri Persia pada September bisa mendekati 1,5 juta barel/hari.

"Ekspor (Iran) sedang meningkat, kami melihat bisa mendekati 1,5 juta barel/hari. Ini adalah level yang belum pernah terjadi dalam 1,5 tahun terakhir," ungkap Samir Madani, Co-founder TankerTrackers, seperti dikutip dari Reuters.

Pasokan yang naik sementara permintaan turun tentu berdampak pada penurunan harga. Sebelum pandemi Covid-19 berlalu, sepertinya harga minyak masih akan tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular