Jangan Tertipu! Tren Kemerosotan Dolar AS Belum Berakhir

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 September 2020 18:45
dollar
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang trengginas dalam beberapa hari terakhir, mata uang Asia dibuat berguguran, begitu juga mata uang Eropa. Penguatan dolar AS terlihat dari indeksnya yang mencatat penguatan 3 hari terakhir, dan masih berlanjut hingga hari ini, Kamis (24/9/2020). 

Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut juga sudah membukukan penguatan 3 hari beruntun, dengan total 1,58%.

Sementara hari ini, pukul 17:36 WIB, indeks dolar AS menguat tipis 0,05% ke 94,432.

Perubahan outlook suku bunga di AS memicu penguatan the greenback. Hal ini bermula dari pernyataan Charles Evans, Presiden The Fed Chicago.
Berbicara lewat daring di acara Official Monetary dan Financial Institution Forum, Evans mengatakan ekonomi AS berisiko dalam jangka panjang, mengalami pemulihan yang lambat, dan tidak bisa langsung keluar dari resesi tanpa bantuan stimulus fiskal. Evans juga melihat open-ended program pembelian aset The Fed (quantitative easing/QE) mampu menyediakan bagian penting untuk pemulihan ekonomi.

"Pernyataan Evans sangat hawkish. Ia menyebutkan QE dan menaikkan suku bunga sebelum target inflasi tercapai. Hal tersebut mengejutkan pasar," kata Edward Moya, analis pasar senior di Oanda New York, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (22/9/2020).

"Segera setelah kita berhasil mengatasi virus corona, anda akan melihat ekspektasi kenaikan suku bunga meningkat, dan seharusnya membuat dolar terus menguat," tambahnya.

Evans bukan merupakan anggota komite pembuat kebijakan moneter (Federal Open Market Committee/FOMC) di tahun ini, sehingga ia tak memiliki suara dalam memutuskan suku bunga. Tetapi pada tahun depan ia akan menjadi anggota FOMC, sehingga pasar melihat ada kemungkinan suku bunga akan naik sebelum 2023.

Selain itu, jumlah kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang kembali menanjak di Eropa membuat ekspektasi Benua Biru akan unggul dari segi pemulihan ekonomi dengan AS menjadi meredup. Dampaknya, nilai tukar euro terus melemah melawan dolar AS.

Prancis menjadi negara di zona euro yang menunjukkan penambahan kasus signifikan, bahkan sempat mencapai 13 ribu kasus baru dalam sehari.

Inggris juga mengalami hal yang sama, meski tidak sebanyak Prancis. Perdana Menteri (PM) Boris Johnson hari Selasa lalu mengatakan Inggris kini berada di "titik balik yang berbahaya" sehingga ia perlu mengambil tindakan pengetatan pembatasan sosial.

"Kebijakan lockdown kembali akibat lonjakan kasus Covid-19 di beberapa negara Eropa memupus pandangan penanganan kasus di Eropa lebih baik ketimbang di AS," kata Kit Juckes, ahli strategi makro global di Societe Generale dalam sebuah catatan yang dikutip MarketWatch, Rabu (24/09/2020).

Juckes juga menyebut potensi pelonggaran moneter di beberapa negara berdampak positif ke dolar AS, tetapi bukan berarti tren penurunan dolar AS sudah berakhir.

"Prospek tambahan stimulus di beberapa bank sentral, dengan Bank of England serta Reserve Bank of New Zealand yang mempertimbangkan suku bunga negatif, kemudian Reserve Bank of Australia yang diperkirakan akan memangkas suku bunga menjadi 0,1% di akhir tahun nanti, juga memberikan dampak positif ke dolar AS. Tetapi bukan berarti tren penurunan dolar AS sudah berakhir," katanya.

Sepanjang bulan September indeks dolar AS memang menunjukkan kebangkitan, tercatat penguatan sekitar 2,5%. Tetapi di akhir Agustus lalu, indeks dolar menyentuh level terlemah lebih dari 2 tahun.

Hasil survei Reuters bulan September menunjukkan dolar AS akan melemah hingga tahun depan, sebabnya yakni kebijakan ultra longgar bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Bos The Fed, Jerome Powell, pada Kamis (27/8/2020) malam mengubah pendekatannya terhadap target inflasi. Sebelumnya The Fed menetapkan target inflasi sebesar 2%, ketika sudah mendekatinya maka bank sentral paling powerful di dunia ini akan menormalisasi suku bunganya, alias mulai menaikkan suku bunga.

Kini The Fed menerapkan "target inflasi rata-rata" yang artinya The Fed akan membiarkan inflasi naik lebih tinggi di atas 2% "secara moderat" dalam "beberapa waktu", selama rata-ratanya masih 2%.

Dengan "target inflasi rata-rata" Powell mengatakan suku bunga rendah bisa ditahan lebih lama lagi, guna membantu perekonomian yang mengalami resesi akibat pandemi Covid-19.

Saat mengumumkan kebijakan moneter Kamis pekan lalu, Powell menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023.

Suku bunga rendah (0,25%) yang ditahan dalam waktu yang lama tentunya berdampak negatif bagi dolar AS.

"Pemicu utama pelemahan dolar AS dalam 4 atau 5 bulan terakhir adalah kebijakan moneter The Fed," kata Lee Hardman, ekonom di MUFG, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (4/9/2020).

Selain itu, ketidakpastian politik di AS jelang Pemilu Presiden bulan November, serta keraguan pasar akan pemulihan ekonomi Paman Sam juga menjadi penekan dolar AS.

xauFoto: Reuters

Hasil survei Reuters terhadap 75 analis di bulan menunjukkan sebanyak 31% memprediksi harga dolar AS masih akan merosot hingga tahun depan. Namun, terjadi penurunan yang lumayan dibandingkan survei bulan Agustus dimana ada 39% yang memprediksi hal yang sama.

Sementara itu, sebanyak 32% dari total yang merespon survei Reuters meramal tren penurunan dolar AS akan berhenti kurang dari 3 bulan ke depan. Persentase tersebut meningkat tajam ketimbang bulan Agustus sebesar 18%. Artinya para analis juga semakin banyak yang melihat perekonomian AS mulai ke arah positif.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular