Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (21/9/2020). Tidak sekedar menguat, rupiah juga memperpanjang rentetan penguatan menjadi 5 hari beruntun, dan menjadi juara 3 Asia hari ini.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di level Rp 14.650/US$, menguat 0,54% di pasar spot. Level tersebut menjadi yang terkuat pada hari ini, rupiah setelahnya memangkas penguatan dan mengakhiri perdagangan di level Rp 14.670/US$, menguat 0,27%.
Mayoritas mata uang utama Asia menguat melawan dolar AS pada hari ini. Hingga pukul 15:03 WIB, rupiah hanya kalah dari won Korea Selatan dan yen Jepang yang menguat 0,41% dan 0,36%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning.
Dolar AS yang sedang lesu mampu dimanfaatkan rupiah untuk terus menguat. Dolar AS tertekan setelah Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada pekan lalu mengumumkan akan mempertahankan suku bunga <0,25% hingga tahun 2023.
Bos The Fed, Jerome Powell, yang akan berbicara secara daring hari ini pukul 21:00 WB, bersama anggota komite pembuat kebijakan moneter lainnya (FOMC) membuat pelaku pasar berhati-hati dan untuk sementara menjauhi dolar AS.
Tidak hanya hari ini, Powell juga akan memberikan testimoni di hadapan Kongres (Parlemen) AS pada Selasa hingga Kamis nanti.
Pada Selasa waktu Washington, Powell akan memberikan paparan di House of Representatives Financial Services Committee, kemudian sehari sesudahnya di House of Representatives Select Subcommittee, lalu esok harinya lagi di Senate Banking Committee.
Memang The Fed sudah mengatakan akan mempertahankan suku bunga rendah hingga tahun 2023. Tetapi beberapa pimpinan The Fed yang juga anggota FOMC memiliki pandangan yang berbeda-beda.
Neel Kashikari, Presiden The Fed Minneapolis, memberi gambaran bahwa bank sentral masih akan memberikan dukungan sepanjang angka pengangguran masih tinggi, tidak hanya melihat kenaikan inflasi.
Sementara Presiden The Fed Dallas Robert Kaplan menegaskan bank sentral sebaiknya mulai bersiap dan membuka opsi untuk menaikkan suku bunga acuan jika dibutuhkan. Pasalnya, sudah ada tanda-tanda inflasi di Negeri Adikuasa mengalami akselerasi.
Suku bunga rendah yang ditahan dalam waktu lama artinya yield berinvestasi di obligasi (Treasury) AS menjadi sangat rendah, bahkan bisa negatif jika memperhitungkan inflasi. Sehingga berinvestasi di AS menjadi kurang menguntungkan, dampaknya dolar AS jadi kurang bertenaga.
Perberdaan yield tersebut kian terasa ketika disandingkan dengan obligasi Indonesia. Yield obligasi tenor 10 tahun hari ini berada di level 6,877% sementara Treasury tenor yang sama di level 0,6626%. Ada selisih lebih dari 6%.
Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga acuan pada pekan lalu membuat selisih yield tersebut masih tetap terjaga.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 16-17 September 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 4%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,75%," papar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam keterangan usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode September 2020, Kamis (17/9/2020).
"Keputusan ini konsisten dengan perlunya menjaga stabilitas eksternal, di tengah inflasi yang diprakirakan tetap rendah. Bank Indonesia menekankan pada jalur kuantitas melalui penyediaan likuiditas untuk mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19," ujarnya.
Perry mengatakan BI tetap mempertahankan suku bunga acuan pada September ini dengan mempertimbangkan berbagai hal mulai dari inflasi hingga sistem keuangan baik di domestik maupun global.
"Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah," ujar Perry melalui konferensi pers virtual, Kamis (17/9/2020).
TIM RISET CNBC INDONESIA