Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun berjaya di perdagangan pasar spot.
Pada Senin (21/9/2020), kurs tengah BI atau kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.723. Rupiah menguat 0,3% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Rupiah juga menghijau di perdagangan pasar spot. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.680 di mana rupiah menguat 0,34%.
Kala pembukaan pasar, rupiah mampu menguat 0,54%. Seiring perjalanan, apresiasi rupiah menipis meski belum sampai habis.
Sama seperti rupiah, seluruh mata uang utama Asia juga menguat di hadapan dolar AS. Apresiasi 0,34% membuat rupiah jadi mata uang terbaik kedua di Benua Kuning, hanya kalah dari baht Thailand.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia di perdagangan pasar spot pada pukul 10:04 WIB:
Dolar AS yang sempat bangkit kini melempem lagi. Pada pukul 09:19 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,09%.
Pelaku pasar melepas mata uang Negeri Paman Sam seiring penantian akan paparan Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell di hadapan Kongres pekan ini. Pada Selasa waktu Washington, Powell akan memberikan paparan di House of Representatives Financial Services Committee, kemudian sehari sesudahnya di House of Representatives Select Subcommittee, lalu esok harinya lagi di Senate Banking Committee.
Satu hal yang ingin digali oleh pelaku pasar adalah kapan The Fed akan mulai mengetatkan kebijakan moneter dengan kenaikan suku bunga acuan. Saat ini, Federal Funds Rate berada di 0-0,025%.
Sejumlah pimpinan The Fed mengemukakan pandangan berbeda. Neel Kashikari, Presiden The Fed Minneapolis, memberi gambaran bahwa bank sentral masih akan memberikan dukungan sepanjang angka pengangguran masih tinggi. Jadi, jangan hanya melihat dari sisi inflasi.
"Jangan sampai The Fed mengulangi kesalahan serupa pada masa lalu, yaitu bereaksi terlalu cepat terhadap percepatan laju inflasi dan kemudian mengorbankan penciptaan lapangan kerja. Saya meminta Komite membuat komitmen yang lebih kuat untuk tidak menaikkan suku bunga acuan sampai diyakini bahwa dua mandat kami tercapai, yaitu penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment) dan stabilitas harga," papar Kahsikari dalam sebuah esai, seperti dikutip dari Reuters.
Sementara Presiden The Fed Dallas Robert Kaplan menegaskan bank sentral sebaiknya mulai bersiap dan membuka opsi untuk menaikkan suku bunga acuan jika dibutuhkan. Pasalnya, sudah ada tanda-tanda inflasi di Negeri Adikuasa mengalami akselerasi.
Pada Agustus, inflasi inti AS berada di 1.7% year-on-year (YoY). Ini menjadi yang tertingi sejak Maret.
Pendapat hampir senada dikemukakan oleh James Bullard, Presiden The Fed St Louis. Bullard menilai inflasi akan naik dengan sendirinya seiring pemulihan aktivitas ekonomi. Ini mesti menjadi catatan bagi The Fed dalam penentuan suku bunga kebijakan.
"Sepertinya sekarang Anda sudah melihat ada inflasi. Bank sentral pun mulai sedikit rileks," ujarnya dalam sebuah forum di Washington University, seperti dikutip dari Reuters.
Sejauh mana The Fed akan menahan suku bunga acuan dekat dengan 0% akan menentukan nasib dolar AS. Jika suku bunga rendah bertahan cukup lama, maka tekanan terhadap dolar AS akan berkepanjangan. Namun jika mulai ada sinyal Federal Funds Rate bisa naik, maka dolar AS punya peluang untuk bangkit.
Penantian akan hal ini membuat investor cenderung melepas dolar AS. Nasib mata uang ini akan ditentukan dari bagaimana investor mencerna paparan Powell.
TIM RISET CNBC INDONESIA