
Gegara Revisi UU BI, Investor Jadi "Buang" Rupiah Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sedang perkasa lagi pada perdagangan Jumat (18/9/2020), meski demikian tekanan sepertinya masih akan datang ke depannya. Hal tersebut terlihat dari hasil survei Reuters yang menunjukkan pelaku pasar kembali melakukan aksi buang dolar AS.
Melansir data Refinitiv, rupiah hari ini mengakhiri perdagangan di Rp 14.730/US$, menguat 0,61% di pasar spot. Sebelumnya rupiah bahkan sempat menguat 0,88% ke Rp 14.690/US$ yang merupakan level terkuat sejak 2 September.
Meski sedang menguat, tetapi sentimen investor asing malah sebaliknya. Survei 2 mingguan terbaru yang dirilis Reuters menunjukkan investor kini kembali mengambil posisi jual (short) terhadap rupiah, setelah mengambil posisi beli (long) pada survei sebelumnya. Posisi beli tersebut menjadi yang pertama setelah 4 survei beruntun investor mengambil posisi jual.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Hasil survei yang dirilis pada Kamis (17/8/2020) kemarin, menunjukkan angka 0,39, berbalik cukup signifikan dibandingkan hasil survei sebelumnya -0,19.
Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Selama periode aksi "buang" rupiah pada 4 survei sebelumnya, Mata Uang Garuda mengalami pelemahan 2,68%. Sementara saat investor mengambil posisi beli (long) rupiah menguat tipis 0,07%.
Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.
Kini dengan investor kembali mengambil posisi jual, rupiah tentunya berisiko kembali melemah.Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.
Hasil survei tersebut juga menunjukkan investor melakukan mengambil posisi jual rupiah akibat kekhawatiran akan rencana revisi undang-undang Bank Indonesia (BI). BI dikhawatirkan tidak lagi independen, dan rentan mengalami intervensi yang bersifat politis.
Kabar buruknya lagi, hanya rupiah mata uang utama Asia yang "dibuang" oleh investor. Bank investasi Societe Generale dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters memprediksi rupiah akan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia di semester II tahun ini. Sebagai aset dengan imbal hasil tinggi, rupiah masih akan dikalahkan oleh rupee India meski yield yang diberikan lebih rendah.
