Soal Revisi UU BI, Ekonom Indef: BI Harus Independen!

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menilai Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter di Tanah Air harus diperlakukan sebagai institusi yang independen dalam revisi Undang-undang (UU) Nomor 23 tahun 1999 tentang BI.
"Kita harus perlakukan BI sebagai [institusi] independen, jangan hilangkan independensi BI," kata Fadhil dalam acara Sarasehan Virtual 100 Ekonom: Transformasi Ekonomi Indonesia Menuju Negara Maju dan Berdaya Saing yang ditayangkan langsung CNBC Indonesia, Selasa (15/9/2020).
"Segala instrumen harus pertimbangan BI, bukan yang lain [institusi lain] atau bahkan intervensi lembaga-lembaga lain. Perluasan mandat ini dilihat tapi bank sentral ini independen," tegasnya.
Dia menilai UU BI masih memiliki tujuan tunggal stabilitas nilai rupiah. Oleh sebab itu, kalau mau menambah dengan memperluas mandat dari BI harus dilakukan revisi UU BI itu sendiri.
"Sekarang ini, akhir-akhir ini ada dua isu, pertama pemerintah merencanakan, sementara di DPR revisi UU BI. Agar proses legislasi proper, lebih baik yang dilakukan melalui pembahasan revisi UU BI di DPR, gak dilakukan melalui Perppu [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang]," jelasnya.
Dia menegaskan lebih baik revisi UU BI, ketimbang Perppu. "Betul. Lebih baik UU. Di berbagai negara ada yang memiliki bank sentral yang banyak triple objective."
Sebelumnya dikabarkan ada Perppu yang akan mengembalikan lagi tugas dan fungsi BI sebagai instansi penelitian, pengaturan, dan pengawasan perbankan yang pada 2013 lalu dipindahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pada 31 Desember 2013, OJK secara resmi mengawasi kinerja seluruh bank yang ada di Indonesia, mengambilalih tugas perbankan yang selama ini dilakukan BI. Ini sesuai dengan amanat UU Nomor 21 tahun 2011. Adapun pengaturan dan pengawasan bank dilakukan OJK.
Fadhil menilai, berdasarkan draf revisi UU BI yang sudah dianalisis, ada usulan menggabungkan kembali pengawasan perbankan mikro di BI sehingga pengawasan makro dan mikro ada di dalam BI.
Sementara yang berlaku saat ini adalah pengawasan makro di BI dan mikro ada di OJK.
"Ini [penggabungan makro dan mikro di BI] yang diusulkan di draf, saya berpendapat karena kita baru punya OJK masih sangat muda, sekitar 7 tahun, terlalu dini untuk bisa lakukan itu [makro mikro di BI], seolah-olah wasting our resources," katanya.
"Yang perlu dilakukan dalam revisi UU BI sekarang ini agar pengaturan makro, yang dilakukan BI di UU BI enggak lagi di UU OJK. Jadi tempatnya jelas, saya kira koordinasi kedua lembaga itu bisa [lebih] baik lagi," tegas ekonom alumnus IPB dan Iowa State University ini.
Sebelumnya Tim Ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tengah menyusun revisi UU BI. Dalam revisi ini, salah satu yang akan dilakukan adalah mengembalikan pengawasan perbankan ke tangan BI dari OJK.
Tim Ahli Baleg menyebutkan, dalam pasal 34 UU 23/1999 ditetapkan bahwa pengawasan bank berada di tangan OJK, sehingga dalam revisi ini hal tersebut akan diubah.
"Dalam pasal 34, ada pengalihan perubahan kewenangan kekuasaan. Yang sebelumnya pengawasan bank dilakukan OJK, maka sesuai rancangan UU ini dialihkan menjadi tetap kewenangan Bank Indonesia," ujar tim ahli Baleg.
Tim Ahli Baleg menyebutkan, setelah diubah maka pasal 34 ini nantinya akan menjadi pasal 31 ayat 1 yang isinya mengenai pengembalian kewenangan OJK terkait bank kepada BI. Batas waktu pengembalian maksimal 3 tahun.
"Tugas mengawasi bank yang selama ini dilakukan oleh OJK dialihkan kepada BI. Pengalihan tugas mengawasi bank sebagaimana dimaksud pada ayat satu dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2023," kata tim ahli Baleg.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article INDEF Dorong Kurangi Beban BI, Ada Apa Ini?
