Investor Legendaris Ini Sebut Dolar AS Bukan Lagi Safe Haven

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 September 2020 19:05
U.S. dollar and Euro banknotes are seen in this picture illustration taken May 3, 2018. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) sudah bangkit dari level terendah dalam lebih dari 2 tahun terakhir 91,746 yang dicapai pada 1 September lalu, tetapi bukan berarti tekanan sudah berakhir. Bahkan investor legendaris, Jim Rogers, mengatakan dolar bukan lagi safe haven dan dominasinya di pasar global sebentar lagi tinggal sejarah saja.

"Saya melihat ketika dunia ini menjadi lebih buruk dalam beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan, dolar akan menjadi sangat kuat. Investor akan mencari aset safe haven saat terjadi gejolak. Investor berfikir dolar AS adalah safe haven karena alasan sejarah, tetapi dolar AS sebenarnya bukan lagi safe haven," kata Rogers sebagaimana dilansir The Federal, media digital India, Jumat (11/9/2020).

Rogers menyebut, utang Amerika Serikat yang menggunung menimbulkan risiko kehancuran. 

"AS saat ini merupakan negara debitor terbesar sepanjang sejarah dunia, tetapi investor masih berfikir dolar AS sebagai safe haven. Jadi saya membayangkan dolar AS akan semakin menguat saat terjadi gejolak, sehingga akan menjadi overprice, dan mungkin menjadi bubble. Kita sudah mendekati akhir (dominasi dolar di dunia), banyak investor mencari pengganti dolar AS saat ini," katanya.

"Saya warga negara Amerika Serikat, saya tidak suka mengatakan hal tersebut, tetapi mari hadapi karena faktanya memang begitu," tambahnya.

dxyFoto: The Federal

Roger yang merupakan pendiri Quantum Fund bersama Gorge Soros ini menyebut utang AS saat ini lebih dari US$ 27 triliun, dan Kongres AS tidak melakukan Sesuatu untuk mengendalikan pengeluaran. Jika tidak ada sesuatu yang dilakukan, maka kemampuan AS membayar hutangnya akan diragukan, dan akan berdampak pada perekonomian global.

China juga dikatakan bisa memainkan peran kunci terhadap stabilitas AS serta global. Sebabnya, China memegang obligasi (Treasury) AS lebih dari US$ 1 triliun. Dengan nilai sebesar itu, China dapat menggunakannya sebagai senjata untuk melawan AS ketika konflik kedua negara semakin memanas.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan AS, pada akhir April 2020, nilai obligasi pemerintah Negeri Paman Sam yang dimiliki China sebesar US$ 1,07 triliun atau sekitar Rp 15.800 triliun (kurs Rp 14.800/US$), atau sekitar 15,8% dari total Treasury AS. Nilai tersebut juga setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Namun jika dilihat ke belakangan, kepemilikan China terus menurun, yang artinya China menjual Treasury miliknya. Pada April 2011 nilainya sebesar US$ 1,11 triliun, artinya berkurang sekitar US$ 40 miliar dalam tempo 1 tahun.

Pada April tahun lalu, China masih menjadi negara pemegang obligasi pemerintah AS terbesar di dunia, tetapi posisi tersebut kini disabet oleh Jepang sejak Juni 2019. Pada April 2020, jumlah Treasury yang dimiliki Jepang sebanyak US$ 1,27 triliun atau sekitar 18,7%.

Rogers mengatakan, seandainya China menjual Treasury secara signifikan maka harganya akan turun, suku bunga di AS akan naik. Dampaknya investasi akan menyusut akibat suku bunga pinjaman yang tinggi, belanja konsumen juga akan menurun, perekonomian AS bahkan global akan terpukul.
Selain China pemegang Treasury lainnya juga bisa saja melepas kepemilikannya.

"Ada alasan tertentu untuk menjual Treasury AS. Bunga yang terendah sepanjang sejarah, jadi, iya, ini hampir mendekati puncak, ada alasan ekonomis untuk menjual Treasury AS. Tapi, dalam kasus China, ada juga alasan politik yang membuat aksi jual Treasury semakin besar. Jadi saya kira China akan terus menjual Treasury dengan alasan ekonomis, dan akan semakin besar jika sesuatu (hubungan dengan AS) semakin memburuk. Ini tidak bagus untuk dunia jika kedua negara bersitegang, tetapi sejarah menunjukkan hal itu pasti terjadi, dan akan terjadi lagi," kata Rogers.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular