
Rupiah Ambrol! Nyaris Rp 14.800/US$ dan Terlemah di Asia

Mata uang Asia kerepotan meladeni dolar AS yang bangkit. Pada pukul 09:15 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,1%.
Harap maklum, dolar AS memang sudah lama teraniaya. Dalam sebulan terakhir, Dollar Index sudah anjlok 1,2%. Lebih parah lagi selama tiga bulan ke belakang, koreksinya mencapai 5%.
Oleh karena itu, akan tiba saatnya investor merasa mata uang Negeri Paman Sam sudah kelewat 'murah'. Dolar AS menjadi seksi lagi dan layak untuk dikoleksi.
Sementara dari dalam negeri, Kemungkinan pasar merespons perkembangan terbaru dari partisipasi Bank Indonesia (BI) dalam pembiayaan anggaran negara. Kepada para jurnalis media asing di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa jika pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa berada di kisaran 4,5-5,5%, maka skema yang disebut burden sharing tersebut mungkin tidak lagi dibutuhkan pada 2022.
Pernyataan Jokowi bisa dimaknai bahwa masih ada peluang pemerintah akan meminta bantuan kepada BI untuk membiayai defisit anggaran setidaknya hingga 2022, andai pertumbuhan ekonomi di bawah kisaran yang disebut Jokowi. Padahal kebijakan ini awalnya disebut-sebut hanya sekali pukul (one-off).
Sejak awal, pelaku pasar agak hati-hati menyikapi masuknya BI untuk membiayai defisit fiskal. Sebab begitu BI masuk maka pasokan uang beredar sehingga nilai tukar rupiah melemah.
Kini dengan prospek perpanjangan burden sharing setidaknya sampai 2022, pelaku pasar semakin cemas. Pasokan rupiah akan membludak sehingga 'harganya' bakal turun.
Sebelum itu terjadi, investor memilih cabut sekarang. Aksi jual massal membuat rupiah terpuruk.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)[Gambas:Video CNBC]
