
Ditekan Terus, Batu Bara Ngamuk & Harga Balik ke Level US$ 50

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara mulai menunjukkan adanya sinyal kenaikan setelah ambles ke level terendah dalam empat tahun terakhir. Namun kenaikan ini masih belum mencerminkan fundamentalnya.
Pada perdagangan kemarin, Rabu (26/8/2020) harga batu bara termal acuan Newcastle untuk kontrak yang aktif ditransaksikan menguat 2,46% ke US$ 50/ton.
Kenaikan harga ini lebih mencerminkan faktor teknikal saja, mengingat fundamentalnya yang masih keropos. Permintaan impor si batu hitam dari dua konsumen terbesarnya yaitu India dan China membuat pasar batu bara lintas laut (seaborne) lesu.
Penurunan konsumsi listrik di sektor komersial dan industri India membuat negara tersebut sempat mengerem impor batu baranya, terutama saat lockdown diterapkan. Namun seiring dengan pelonggaran lockdown dilakukan India cenderung membatasi impornya untuk mendongkrak permintaan domestik.
Hal yang sama juga dilakukan di China. Impor batu bara Negeri Panda sempat jor-joran. Kini impor China pun mulai ditahan. Di saat China menahan impornya, pasar lain seperti Jepang pun tak bisa diharapkan banyak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang, impor batu bara termal Negeri Sakura tercatat mencapai 8,9 juta ton di bulan Juli atau turun 14% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sementara jika dilihat pada periode Januari-Juli total impor batu bara Jepang mencapai 62,1 juta ton atau turun 3,6% dibanding periode yang sama tahun 2019.
Impor batu bara Jepang dari Rusia dan Indonesia cenderung flat tahun ini. Itu artinya impor dari Australia dan Amerika Utara mengalami penurunan yang lebih dalam. Lemahnya permintaan terhadap sektor pembangkit listrik semasa wabah Covid-19 merebak permintaan terhadap bahan bakar fosil pun turun.
Bahkan ketersediaan sumber energi alternatif seperti nuklir pun turun karena adanya perawatan (maintenance) serta upgrade. Ini lah yang menjadi faktor pemicu anjloknya harga batu bara saat ini.
Beralih ke AS, Reuters melaporkan akan ada pembangkit listrik yang menggunakan batu bara ditutup tahun ini.
Mengutip data Administrasi Informasi Energi AS (EIA) dan Thomson Reuters, perusahaan setrum AS berharap untuk menutup atau mengubah pembangkit listrik batu bara menjadi gas dengan kapasitas lebih dari 9.100 megawatt (MW) di tahun ini. Sebelumnya mereka telah menutup sekitar 15.000 MW pada tahun 2019.
Kapasitas pembangkit yang ditutup pada tahun 2019 adalah yang tertinggi kedua setelah tahun 2015 ketika pembangkit yang diberhentikan kapasitasnya di atas 19.300 MW. Sebagai gambaran, satu megawatt dapat memberi daya pada sekitar 1.000 rumah di AS.
Kapasitas tenaga batu bara AS mencapai puncaknya di atas 317.600 MW pada tahun 2011, menurut data EIA. Namun menurun setiap tahun sejak itu dan turun menjadi sekitar 227.400 MW pada akhir 2019. Total kapasitas pembangkit di Amerika Serikat - termasuk batubara, gas alam, energi terbarukan, dan nuklir - sekitar 1,1 juta MW pada 2019.
Harga gas yang murah dan meningkatnya penggunaan sumber daya terbarukan telah membuat harga listrik relatif rendah dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini membuat tingkat keekonomisan menjadi berkurang bagi generator untuk terus mengoperasikan pembangkit batu bara yang lebih tua dan kurang efisien, terutama bagi mereka membutuhkan upgrade untuk memenuhi peraturan pemerintah dan lingkungan negara bagian yang semakin ketat.
Batu bara telah menjadi bahan bakar utama untuk pembangkit listrik AS selama kurang lebih seabad terakhir. Namun penggunaannya telah menurun sejak mencapai puncaknya pada tahun 2007. Pada saat itu, para pengebor menemukan cara yang ekonomis menarik gas keluar dari formasi batuan serpih.
Gas mulai menggantikan batu bara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik AS pada tahun 2016. Reuters melaporkan diperlukan sekitar 175 juta kaki kubik gas per hari untuk menghasilkan sekitar 1.000 MW.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Rata-Rata Batu Bara Diproyeksi Lebih Rendah Pada 2020