Hati-hati! Level Ini Jebol Emas Bakal Ambles Lebih Dalam

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 August 2020 18:03
Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rally harga emas dunia akhirnya terhenti (atau mungkin tertahan) setelah membukukan pelemahan 2 pekan beruntun. Sebelumnya, emas selalu menguat dalam 9 pekan berturut-turut dan berkali-kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

Rekor terakhir yang dicetak yakni US$ 2.072,27/troy ons yang dicapai pada 7 Agustus lalu. Sejak akhir tahun 2019 hingga ke rekor tersebut, harga emas sudah menguat lebih dari 36%. Tepat setelah mencapai rekor tersebut harga emas mulai menurun, dalam 2 pekan terakhir total penurunan tercatat sebesar 4,68%.

2 hari setelah menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa, harga emas ambrol 5,72%. Kemudian emas mencatat penguatan dalam 4 dari 5 perdagangan setelahnya hingga kembali ke atas US$ 2.000/troy ons, tetapi ambrol lagi 4% pada Rabu (19/8/2020) lalu. Pada penutupan perdagangan pekan lalu, emas berada di level US$ 1.939,4/troy ons.

Pergerakan tersebut menunjukkan emas masih kesulitan untuk bertahan di atas US$ 2.000/troy ons, apalagi untuk kembali melaju kencang. Melansir Kitco, beberapa analis menyebut emas kini masuk fase konsolidasi. Namun, analis-analis tersebut juga melihat fase konsolidasi ini merupakan koreksi sehat emas setelah terbang tinggi di tahun ini, dan bagus untuk outlook penguatan emas jangka panjang.

Fase konsolidasi artinya emas akan bergerak naik turun dalam rentang harga tertentu dalam beberapa waktu lamanya. Pada satu titik, fase konsolidasi dapat memicu pergerakan besar jika menembus batas atas atau bawah fase konsolidasi.

Untuk saat ini, batas fase konsolidasi masih belum terlihat jelas, tetapi ada kemungkinan batas bawah berada di kisaran US$ 1.860/troy ons dan batas atas di US$ 2.000/troy ons.

Ole Hansen, kepala strategi komoditas Saxo Bank mengatakan dolar AS yang perlahan kembali menguat akan menjadi faktor penekan harga emas yang signifikan dalam jangka pendek.

"Kami melihat posisi jual (short) dolar AS ada di level ekstrim dan posisi tersebut saat ini mulai menurun. Hal itu membuat posisi bullish emas juga akan menurun dalam jangka pendek," kata Hansen sebagaimana dilansir Kitco, Minggu (23/8/2020).

Koreksi emas yang cukup dalam bisa terjadi jika batas bawah fase konsolidasi berhasil dilewati. Analis dari TD Securities, Daniel Ghali, melihat koreksi harga emas akan mencapai 17% atau sekitar US$ 300, melihat momentum penguatan emas mulai memudar.

Meski demikian, Ghali menyatakan saat koreksi selesai, maka harga emas akan kembali melesat.

Sebelum tahun ini, emas mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada September 2011 di US$ 1.920.3/troy ons.

Kondisi perekonomian AS serta kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menjadi "aktor" utama dibalik pergerakan emas ke rekor tertinggi sepanjang masa, dan juga yang akan memicu kemerosotan, baik itu dulu maupun sekarang.

Di tahun 2008, Amerika Serikat mengalami resesi, yang memicu krisis finansial global. Guna membangkitkan perekonomian, The Fed memangkas suku bunga hingga 0,25%, dan menggelontorkan stimulus moneter dengan program pembelian aset (obligasi pemerintah dan surat berharga lainnya) atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE).

Saat itu, QE dilakukan dalam 3 periode. QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012.
Emas dunia mencapai periode kejayaannya saat QE 2 berlangsung. Sementara masa kemerosotan dimulai tepat sebulan setelah QE 3 dimulai. Sebabnya, perekonomian Amerika Serikat yang mulai membaik, dan ada isu jika QE akan segera dihentikan dalam waktu dekat.

Pada pertengahan tahun 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana untuk mengurangi (tapering) QE. Sah, masa kejayaan emas berakhir, baru sebatas wacana saja harga emas langsung merosot tajam.

Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS terus merosot. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk "taper tantrum" mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback. Penguatan dolar tersebut menambah pukulan bagi emas.

"Bahan bakar" emas untuk menguat, resesi, suku bunga rendah dan QE, serta pelemahan dolar AS satu per satu per satu mulai hilang. Perekonomian AS membaik, QE dihentikan pada pertengahan 2014, suku bunga dinaikkan pada Desember 2015, dan dolar AS menguat, emas pun terpukul hebat.

Situasi saat itu sangat mirip dengan tahun ini, AS resesi, The Fed menerapkan suku bunga rendah dan QE, dolar AS pun ambrol belakangan ini. Seandainya situasi mulai berbalik (jika ada tanda-tanda ekonomi AS bangkit) maka patut bersiap melihat harga emas menukik dari angkasa untuk kedua kalinya, mengulang sejarah pasca 2011.

Satu hal yang membedakan kondisi 2008 dan 2020 adalah pemicu resesi saat ini adalah pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Oleh karena itu, nasib emas saat ini akan ditentukan si virus corona, apakah berhasil diredam, ataukah akhirnya vaksin ditemukan sehingga semua perlahan kembali normal, atau malah semakin mengganas yang dapat memicu resesi panjang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular