
Rekor Terendah Lagi! Batu Bara Nyungsep di Bawah US$ 50/Ton

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara termal Newcastle untuk kontrak yang aktif ditransaksikan terus melemah. Pekan lalu harga si batu hitam anjlok ke level terendah dalam 4 tahun terakhir.
Kini harga batu bara kontrak berjangka Newcastle sudah di bawah US$ 50/ton. Pada Jumat (21/8/2020), harga batu bara turun 0,8% ke US$ 49,6/ton dan menjadi terendah sejak pertengahan April 2016.
Penurunan harga batu bara juga tak terlepas dari fundamental pasar yang rapuh baik dari sisi permintaan maupun pasokan. Dari sisi demand, potensi penurunan permintaan batu bara impor lintas laut (seaborne) dari India membuat harga tertekan.
Perusahaan setrum BUMN asal India yakni NTPC dikabarkan tak akan mengimpor batu bara mengingat konsumsi listrik di negara pengimpor batu bara terbesar setelah China itu drop akibat merebaknya pandemi Covid-19.
Kemungkinan pembatasan impor oleh India memang tak bisa terelakkan. Sebab, pemerintah setempat akan cenderung mendorong industri pertambangan batu bara domestik terlebih dahulu dalam rangka pemulihan ekonomi.
Di sisi lain China juga kemungkinan akan membatasi impor batu baranya mengingat mulai ada penurunan harga batu bara domestik. Sebagai dua negara konsumen batu bara terbesar di dunia, penurunan permintaan asal negara-negara ini jelas menjadi tekanan tersendiri untuk harga si batu hitam.
Ketika permintaan sedang lesu, pasokan batu bara justru berlimpah. Ini menjadi pukulan ganda bagi harga komoditas unggulan Negeri Kanguru dan Indonesia. Argus Media melaporkan kontraksi penjualan batu bara RI lebih dalam dari penurunan produksinya.
Berdasarkan data kementerian ESDM, Indonesia memproduksi 324,4 juta ton batu bara atau rata-rata 46,3 juta ton/bulan selama Januari-Juli. Sementara dari sisi volume penjualan pada periode yang sama tercatat mencapai 286.1 juta ton atau 40,9 juta ton/bulan.
Dengan begitu, produksi batu bara Indonesia turun sekitar 4,2 juta ton/bulan pada Januari-Juli, tetapi penjualan turun sebesar 11,6 juta ton/bulan selama periode yang sama.
Produksi Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda pelemahan dalam beberapa bulan terakhir dan beberapa produsen besar telah merevisi turun panduan tahunan mereka. Namun masih ada juga para penambang lain lebih bullish dan pemerintah sejauh ini masih mempertahankan target tahunannya.
Permintaan domestik diperkirakan turun 28 juta-38 juta ton dalam setahun menjadi 100 juta-110 juta ton pada 2020, yang membuat surplus ekspor berada di kisaran 440 juta ton -450 juta ton.
Namun untuk mencapai batas bawah kisaran ini, ekspor Indonesia perlu mencapai rata-rata 40,5 juta ton/bulan pada bulan Agustus-Desember, yang berarti 6,5 juta ton/bulan lebih tinggi dari pada bulan Januari-Juli dan 2,4 juta ton/bulan lebih tinggi dari pada bulan Agustus-Desember tahun lalu.
Ini jelas bukan tugas yang mudah mengingat permintaan global sedang loyo-loyonya. Asosiasi (APBI) memperkirakan akan terjadi penurunan penjualan batu bara RI sebesar 85 juta ton dari tahun lalu.
Ini berarti volume ekspor tahunan akan mendekati 405 juta ton, atau 33,5 juta ton/bulan selama Agustus-Desember, yang kemungkinan akan menambah kelebihan pasokan saat ini dan membuat harga tertekan.
Kementerian ESDM mematok harga batu bara acuan (HBA) bulan Agustus di US$ 50,34/ton dan menjadi level terendah dalam setidaknya empat tahun terakhir. Secara year to date pun HBA RI sudah melorot 23,6%.
Di sisi lain hubungan antara Australia dan China juga dikabarkan memburuk. Setelah menyasar produk barley dari Australia, China kini dikabarkan mulai menarget produk minuman beralkohol wine dari Negeri Kanguru tersebut.
Hal yang dikhawatirkan adalah ketika kisruh menjadi tereskalasi dampaknya juga akan terasa ke batu bara Australia mengingat China merupakan konsumen terbesar batu bara global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article April 2020, HBA Anjlok ke Level USD 65,77