Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah akhirnya menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (19/8/2020), menghentikan pelemahan dalam 6 hari beruntun.
Melansir data Refinitiv, rupiah menguat 0,4% ke Rp 14.770/US$, sekaligus menutup pekan ini. Besok pasar keuangan dalam negeri libur Tahun Baru Hijriah, dan Jumat cuti bersama.
Penguatan hari ini bisa menjadi awal bagi rupiah untuk kembali berjaya. Modal untuk menguat ke depannya sudah didapat di pekan ini.
Kemarin, Bank Indonesia (BI) merilis Neraca Pembayaran atau Balance of Payment (BOP) Indonesia pada kuartal II-2020 yang mencatat surplus setelah defisit di kuartal sebelumnya. Penurunan defisit transaksi berjalan (CAD) dan surplus transaksi modal dan finansial (TMF) menjadi pemicunya.
Dalam rilis tersebut, neraca pembayaran Indonesia pada periode April-Juni 2020 tercatat surplus US$ 9,2 miliar. Surplus ini merupakan yang tertinggi sejak kuartal kedua tahun 2011 atau sembilan tahun silam.
Defisit transaksi berjalan dilaporkan sebesar US$ 2,9 miliar atau setara 1,2% dari produk domestik bruto (PDB), membaik dari kuartal sebelumnya 1,4% dari PDB. Defisit di kuartal II-2020 menjadi yang paling kecil sejak kuartal I-2017.
Membaiknya defisit transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.
Komponen NPI lainnya, TMF berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money, dan pergerakannya sangat fluktuatif.
Surplus transaksi modal dan finansial pada April-Juni tercatat sebesar US$ 10,5 miliar (4,3% dari PDB), berbalik arah dari defisit US$ 3,0 miliar (1,1% dari PDB) pada kuartal I-2020.
Tetapi arus modal dapat datang dan pergi dalam waktu singkat, sehingga berdampak pada stabilitas rupiah.
Lihat saja bagaimana rupiah ambrol pada bulan Maret, saat itu rupiah menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi, total kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) menjadi Rp 926,91 triliun per 31 Maret.
Sehingga posisi transaksi berjalan menjadi krusial bagi ketangguhan rupiah. Jika tren penipisan CAD terus berlanjut, maka rupiah berpotensi menguat.
Sementara itu, BI dalam rilis hasil rapat Dewan Gubernur hari ini mempertahankan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate 4%.
Dewan Gubernur BI yang dipimpin oleh Perry Warjiyo sebagai Gubernur menilai langkah tersebut masih konsisten untuk mendorong pemulihan ekonomi di masa pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Agustus 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,75%."
"Keputusan ini konsisten dengan perlunya menjaga stabilitas eksternal, di tengah inflasi yang diprakirakan tetap rendah. Bank Indonesia menekankan pada jalur kuantitas melalui penyediaan likuiditas untuk mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19, termasuk dukungan Bank Indonesia kepada Pemerintah dalam mempercepat realisasi APBN tahun 2020," papar Perry dalam jumpa pers usai RDG edisi Agustus 2020, Rabu (19/8/2020).
Nyaris tidak ada perubahan kebijakan yang diumumkan BI. Gubernur Perry juga kembali menegaskan dalam kondisi saat ini pemulihan ekonomi lebih efektif melalui jalur kuantitas, yaitu bagaimana dari aspek likuiditas dan pendaan, seperti quantitative easing yang sudah dilakukan BI.
Rupiah berada dalam tren pelemahan sejak 9 Juni lalu, artinya sudah berlangsung dalam lebih dari 2 bulan, meski pelemahnya terbilang smooth. Salah satu penyebab rupiah terus melemah adalah pemangkasan suku bunga BI.
Pada pertengahan Juli lalu, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4%.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Juli 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Youtube Resmi Bank Indonesia, Kamis (16/7/2020).
"Keputusan ini juga mendukung pemulihan ekonomi nasional dengan tetap menjaga terkendalinya inflasi dan stabilitas nilai tukar," kata Perry.
Total di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 100 bps. Tidak hanya memangkas suku bunga, BI juga memberikan banyak stimulus moneter, tujuannya, guna memacu perekonomian yang nyungsep.
Penurunan suku bunga oleh BI menjadi salah satu penyebab melempemnya rupiah. Sejak BI memangkas suku bunga acuan pada pertengahan Juli lalu hingga hari ini rupiah sudah melemah 1,85%. Sehingga jika suku bunga kembali dipangkas, ada risiko rupiah semakin tertekan. Kala suku bunga diturunkan, daya tarik investasi juga tentunya semakin meredup.
Tetapi dalam 2 edisi RDG, Gubernur Perry memberikan sinyal BI tidak akan lagi memangkas suku bunga, dengan menegaskan untuk kondisi saat ini pemulihan ekonomi lebih efektif melalui jalur kuantitas.
Ketika suku bunga tak lagi diturunkan, maka yield obligasi Indonesia masih relatif lebih tinggi, aliran modal bisa kembali ke dalam negeri dan jadi modal, bagi rupiah untuk kembali menguat ke depannya.
Gubernur Perry juga kembali menegaskan rupiah masih undervalue, sehingga ke depannya akan kembali menguat.
"Ke depan, BI memandang nilai tukar rupiah rupiah masih berpotensi untuk menguat seiring fundamental yang masih undervalue, defisit transaksi berjalan yang rendah, inflasi rendah, dan premi resiko yang menurun. Kondisi pada semester II-2020 juga mendukung prospek penguatan nilai tukar rupiah," papar Perry
Peluang penguatan rupiah di sisa tahun ini juga tersaji dari buruknya kinerja dolar AS.
Indeks dolar AS kembali nyungsep pada perdagangan Selasa waktu setempat, dampaknya mata uang Asia ceria. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini melemah 0,59% ke 92,301, yang merupakan level terendah sejak Mei 2018. Sementara hingga sore ini, indeks tersebut masih stagnan.
Penyebab utama merosotnya indeks dolar yakni pemulihan ekonomi dari resesi akan lebih lambat ketimbang negara-negara lainnya, khususnya negara di Eropa.
Pembahasan stimulus fiskal yang kembali macet di Kongres (Parlemen) AS, tanpa stimulus tambahan, pemulihan ekonomi AS tentunya akan berjalan lebih lambat lagi.
"Dolar AS membutuhkan kabar positif dari pembahasan stimulus. Pasti akan ada kesepakatan, karena para politikus tidak mungkin kembali ke konstituen mereka dengan tangan hampa. Ketika itu terjadi, maka dolar AS akan punya momentum untuk menguat terhadap mata uang lain," jelas Masafumi.
Masalahnya, hingga saat ini pembahasan stimulus fiskal masih macet. Situasi politik di AS akan semakin memanas mengingat pada bulan November nanti akan ada Pemilihan Umum Presiden. Sehingga masih banyak ketidakpastian yang dihadapi dan dapat menekan dolar AS.
Dengan demikian, rupiah berpeluang untuk kembali menguat di sisa tahun ini, asalkan pemulihan ekonomi dalam negeri mulai berjalan, serta tidak terjadi lonjakan kasus Covid-19 yang dapat menghambat pemulihan ekonomi tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA