
Sekalinya Menguat, Rupiah Langsung Juara Asia!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (19/8/2020), menghentikan pelemahan dalam 6 hari terakhir. Tidak sekedar menguat, rupiah juara alias mata uang dengan kinerja terbaik di Asia.
Melansir data Refinitiv, rupiah melesat 0,88% ke Rp 14.700/US$ di pembukaan perdagangan. Sayangnya, level tersebut juga menjadi yang terkuat intraday, rupiah setelahnya memangkas penguatan dan mengakhiri perdagangan di level Rp 14.770/US$ menguat 0,4% di pasar spot.
Mayoritas mata uang utama Asia menguat melawan dolar AS pada hari ini, artinya the greenback memang sedang loyo. Hingga pukul 15:02 WIB, penguatan mata uang utama Asia masih di bawah 0,15%, hanya rupiah yang melesat 0,4%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning.
Kemarin, Mata Uang Garuda melemah 0,75% ke Rp 14.830/US$ yang merupakan level terlemah sejak 18 Mei lalu. Tidak hanya itu, rupiah juga sudah melemah dalam 6 hari beruntun. Oleh karena itu, wajar jika rupiah menguat tajam pada hari ini.
Indeks dolar AS kembali nyungsep pada perdagangan Selasa waktu setempat, dampaknya mata uang Asia ceria. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini melemah 0,59% ke 92,301, yang merupakan level terendah sejak Mei 2018. Sementara hingga sore ini, indeks tersebut masih stagnan.
Pembahasan stimulus fiskal yang kembali macet di Kongres (Parlemen) AS, menjadi penyebab kembali melemahnya indeks dolar AS.
Tanpa stimulus tambahan, pemulihan ekonomi AS tentunya akan berjalan lebih lambat.
"Dolar AS membutuhkan kabar positif dari pembahasan stimulus. Pasti akan ada kesepakatan, karena para politikus tidak mungkin kembali ke konstituen mereka dengan tangan hampa. Ketika itu terjadi, maka dolar AS akan punya momentum untuk menguat terhadap mata uang lain," jelas Masafumi.
Neraca Pembayaran atau Balance of Payment (BOP) Indonesia pada kuartal II-2020 mencatat surplus setelah defisit di kuartal sebelumnya. Penurunan defisit transaksi berjalan (CAD) dan surplus transaksi modal dan finansial (TMF) menjadi pemicunya.
Kemarin, Bank Indonesia (BI) merilis neraca pembayaran Indonesia pada periode April-Juni 2020 surplus US$ 9,2 miliar. Surplus ini merupakan yang tertinggi sejak kuartal kedua tahun 2011 atau sembilan tahun silam.
Defisit transaksi berjalan sebesar US$ 2,9 miliar atau setara 1,2% dari produk domestik bruto (PDB), membaik dari kuartal sebelumnya 1,4% dari PDB. Defisit di kuartal II-2020 menjadi yang paling kecil sejak kuartal I-2017.
Membaiknya defisit transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.
Komponen NPI lainnya, TMF berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money, dan pergerakannya sangat fluktuatif.
Surplus transaksi modal dan finansial pada April-Juni tercatat sebesar US$ 10,5 miliar (4,3% dari PDB), berbalik arah dari defisit US$ 3,0 miliar (1,1% dari PDB) pada kuartal I-2020.
Tetapi arus modal dapat datang dan pergi dalam waktu singkat, sehingga berdampak pada stabilitas rupiah.
Lihat saja bagaimana rupiah ambrol pada bulan Maret, saat itu rupiah menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi, total kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) menjadi Rp 926,91 triliun per 31 Maret.
Sehingga posisi transaksi berjalan menjadi krusial bagi ketangguhan rupiah.
Sementara itu, BI dalam pengumuman kebijakan hari ini mempertahankan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate 4%.
Dewan Gubernur BI yang dipimpin oleh Perry Warjiyo sebagai Gubernur menilai langkah tersebut masih konsisten untuk mendorong pemulihan ekonomi di masa pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Nyaris tidak ada perubahan kebijakan yang diumumkan BI. Gubernur Perry juga kembali menegaskan dalam kondisi saat ini pemulihan ekonomi lebih efektif melalui jalur kuantitas, yaitu bagaimana dari aspek likuiditas dan pendaan, seperti quantitative easing yang sudah dilakukan BI.
Pernyataan tersebut mengindikasikan BI tidak akan lagi memangkas suku bunga, sehingga memberikan tenaga bagi rupiah untuk kembali menguat ke depannya.
Gubernur Perry juga kembali menegaskan rupiah masih undervalue, sehingga ke depannya akan kembali menguat.
"Ke depan, BI memandang nilai tukar rupiah rupiah masih berpotensi untuk menguat seiring fundamental yang masih undervalued, defisit transaksi berjalan yang rendah, inflasi rendah, dan premi resiko yang menurun. Kondisi pada semester II-2020 juga mendukung prospek penguatan nilai tukar rupiah," papar Perry
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
