Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah sepanjang bulan lalu. Dolar AS yang pada awal bulan masih di bawah Rp 14.200, pada akhir bulan sudah di atas Rp 14.500.
Sepanjang Juli 2020, rupiah melemah 2,47% terhadap dolar AS secara point-to-point. Rupiah menjalani tren pelemahan pada pekan I-III, dan baru membaik pada pekan terakhir.
Hampir seluruh mata uang utama Asia menguat di hadapan dolar AS. Hanya dua yang melemah, rupiah dan baht Thailand. Sementara dolar Hong Kong mengakhiri Juli dengan stagnasi.
Namun depresiasi 2,48% membuat rupiah jadi mata uang terlemah Asia sepanjang Juli. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning sepanjang bulan lalu:
Maklum, investor memang sepertinya 'gatal' ingin mencairkan keuntungan dari memegang rupiah. Sepanjang kuartal II-2020, rupiah begitu digdaya dengan penguatan belasan persen di hadapan greenback.
Oleh karena itu, keuntungan yang didapat dari rupiah sudah lumayan besar. Tekanan jual menerpa rupiah sampai menjadi yang terlemah di Asia.
Tekanan jual itu terjadi sampai pekan ketiga. Pada pekan keempat, investor kembali bernafsu memburu aset-aset berbasis rupiah, terutama obligasi pemerintah alias Surat Berharga Negara (SBN).
Ini tidak lepas dari tren suku bunga rendah di berbagai negara. Di AS, The Federal Reserve/The Fed masih menahan suku bunga acuan di 0-0,25%. Bank sentral paling berpengaruh di muka bumi itu menegaskan bahwa suku bunga akan bertahan di level rendah hingga ekonomi Negeri Paman Sam benar-benar pulih dari hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
"Penyebaran virus corona menyebabkan kesulitan yang luar biasa di AS dan seluruh dunia. Setelah penurunan tajam di perekonomian dan pasar tenaga kerja, mulai terjadi pembalikan dalam beberapa bulan terakhir meski masih di bawah level awal tahun. Permintaan yang rendah membuat inflasi tertahan.
"Situasi di pasar keuangan secara umum membaik dalam beberapa bulan ini, mencerminkan dampak kebijakan untuk mendukung aktivitas ekonomi serta penyaluran kredit kepada rumah tangga dan rumah tangga. Namun ke mana ekonomi akan bergerak akan sangat ditentukan oleh virus. Krisis kesehatan akan membebani aktivitas ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan inflasi dalam jangka pendek dan menjadi risiko bagi perekonomian dalam jangka menengah.
"Dengan perkembangan tersebut, Komite memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25%. Komite memperkirakan suku bunga acuan akan bertahan sampai ada keyakinan bahwa ekonomi berhasil melalui situasi ini," papar keterangan tertulis The Fed usai rapat edisi Juli 2020.
Suku bunga rendah ikut menekan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Kemarin, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 0,536%, terendah sejak Maret. Bahkan kalau memperhitungkan suku bunga riil setelah dikurangi inflasi, di mana pada Juli inflasi Negeri Adidaya adalah 0,6%, maka hasilnya menjadi -0,06%. Menaruh uang di instrumen ini bukannya untung malah buntung, boncos.
Bandingkan dengan Indonesia. Saat ini yield SBN tenor 10 tahun adalah 6.825%. Dengan laju inflasi yang sebesar 1,96%, maka keuntungan riilnya adalah 4,865%. Jauh lebih menarik bukan?
Oleh karena itu, investor tidak betah berlama-lama melepas SBN. Janji keuntungan besar membuat investor datang lagi.
Kalau mau membeli SBN tentu butuh rupiah. Permintaan rupiah jadi ikut terangkat seiring tingginya minat investor terhadap SBN. Ini kemudian membuat rupiah menguat pada pekan terakhir Juli, meski belum bisa menutup depresiasi yang terjadi tiga pekan sebelumnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA