Tenang, Walau Rupiah Melemah Tapi Tak Akan Parah Kok

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 July 2020 09:24
Ilustrasi Rupiah dan Dollar di teller Bank Mandiri, Jakarta, Senin (07/5). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah. Rupiah melemah 0,32 % dibandingkan penutupan akhir pekan lalu. Harga jual dolar AS di  bank Mandiri Rp. 14.043. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Maklum, rupiah memang sudah kebangetan menguatnya.

Pada Kamis (30/7/2020), US$ 1 dihargai Rp 14.450 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Akan tetapi, rupiah kemudian masuk jalur merah. Pada pukul 09:16 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.510 di mana rupiah melemah 0,28%.

Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,07% terhadap dolar AS. Tidak main-main, mata uang Tanah Air sudah menguat tujuh hari beruntun. Dalam tujuh hari tersebut, apresiasi rupiah mencapai 1,63%.

Oleh karena itu, rupiah jadi rentan mengalami koreksi teknikal. Investor yang merasa sudah mendapat untung banyak dari rupiah tentu tergoda untuk mencairkannya. Rupiah yang terpapar tekanan jual pun melemah.

Akan tetapi koreksi rupiah sepertinya akan tipis saja, koreksi yang sehat setelah apresiasi berhari-hari. Minat investor terhadap aset-aset berbasis rupiah, terutama obligasi, akan menjadi bantalan empuk yang membuat rupiah tidak jatuh terlampau dalam.

Tingginya minat investor terhadap Surat Berharga Negara disebabkan oleh tren suku bunga rendah di negara-negara maju. Dini hari tadi waktu Indonesia, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25%. Bahkan sepertinya Federal Funds Rate masih akan bertahan rendah sepanjang ekonomi Negeri Paman Sam masih berkubang dalam derita akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

"Penyebaran virus corona menyebabkan kesulitan yang luar biasa di AS dan seluruh dunia. Setelah penurunan tajam di perekonomian dan pasar tenaga kerja, mulai terjadi pembalikan dalam beberapa bulan terakhir meski masih di bawah level awal tahun. Permintaan yang rendah membuat inflasi tertahan.

"Situasi di pasar keuangan secara umum membaik dalam beberapa bulan ini, mencerminkan dampak kebijakan untuk mendukung aktivitas ekonomi serta penyaluran kredit kepada rumah tangga dan rumah tangga. Namun ke mana ekonomi akan bergerak akan sangat ditentukan oleh virus. Krisis kesehatan akan membebani aktivitas ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan inflasi dalam jangka pendek dan menjadi risiko bagi perekonomian dalam jangka menengah.

"Dengan perkembangan tersebut, Komite memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25%. Komite memperkirakan suku bunga acuan akan bertahan sampai ada keyakinan bahwa ekonomi berhasil melalui situasi ini," papar keterangan tertulis The Fed.

Suku bunga rendah membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS terus menipis. Saat ini, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 0,5773%. Tipis betul.

Apalagi kalau memperhitungkan keuntungan riil setelah dikurangi inflasi. Dengan inflasi AS yang sampai Juni ada di 0,6%, maka keuntungan riil berinvestasi di US Treasury Bond tenor 10 tahun adalah -0,02%. Bukannya untung, malah buntung.

Sebaliknya, SBN masih memberikan cuan. Dengan yield 6,826% untuk SBN tenor 10 tahun dan laju inflasi 1,96% hingga Juni, maka keuntungan riil yang dinikmati investor adalah 4,866%.

Oleh karena itu, sepertinya arus modal asing yang masuk ke pasar SBN masih akan deras. Jadi walau rupiah menguatm sepertinya tidak parah-parah amat.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar AS Balas Dendam, Rupiah Dibikin KO Hari Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular