Wah, Benarkah Emas Kini Lebih Berharga dari Dolar AS?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 July 2020 18:35
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Pada tahun 2019 lalu, aksi "buang" dolar atau dedolarisasi oleh China menjadi perhatian pelaku pasar. Hal tersebut dilakukan dengan mengurangi porsi obligasi (Treasury) AS yang dimiliki. Aksi yang sama kembali muncul di tahun ini akibat memanasnya hubungan AS dengan China.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan AS, pada akhir April 2020, nilai obligasi pemerintah AS yang dimiliki China sebesar US$ 1,07 triliun atau sekitar Rp 14.400 triliun (kurs Rp 14.400/US$), atau sekitar 15,8%. Nilai tersebut juga setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Namun jika dilihat ke belakangan, kepemilikan China terus menurun, pada April 2019 nilainya sebesar US$ 1,11 triliun, artinya berkurang sekitar US$ 40 miliar (Rp 576 triliun) dalam tempo 1 tahun.

Dedolarisasi juga dilakukan oleh Rusia, bahkan lebih agresif lagi. Pada 2018 lalu, pada periode Maret sampai Mei atau dalam tempo tiga bulan saja, Rusia 'buang dolar' dengan melepas obligasi pemerintah AS sebesar US$ 81 miliar (Rp 1.166,4 triliun) atau sekitar 84% dari total kepemilikan kala itu.

Akibat kebijakan tersebut, pada bulan Mei 2018 yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun melesat naik ke atas 3% untuk kali pertama sejak Januari 2014. Bank sentral Rusia kala itu menyatakan kebijakan tersebut dilakukan untuk diversifikasi dan beralih ke emas.

Kebijakan dedolarisasi tersebut tentunya berisiko membuat dolar AS melemah. Di sisi lain, seperti bank sentral Rusia, bank sentral di dunia lainnya juga "memborong" emas.

Hasil survei World Gold Council yang dirilis pada Juli 2019 lalu menunjukkan pada tahun 2018, sebanyak 12% dari 155 bank sentral baik negara berkembang dan maju melakukan pembelian emas. Di tahun tersebut, permintaan emas oleh bank sentral naik menjadi 651 ton, dikatakan menjadi yang tertinggi dalam sistem moneter internasional saat ini.

Hasil survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 11% dari bank sentral masih akan terus membeli emas dalam periode 12 bulan setelahnya. Rencana pembelian tersebut dikatakan akibat tingginya risiko ekonomi di mata uang sebagai cadangan devisa. Dalam jangka menengah, bank sentral melihat adanya perubahan dalam sistem moneter internasional, dimana yuan China dan emas diprediksi akan memiliki peran yang lebih besar, sehingga relevan terhadap aksi "borong" emas yang mereka lakukan.

Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang terjadi di tahun ini membuat bank sentral kembali berencana menaikkan pembelian emas. Jika tahun lalu sebanyak 11% bank sentral yang disurvei menyatakan akan membeli emas, kini hasil survei terbaru menunjukkan 20% yang akan "memborong" emas. Risiko terjadinya krisis finansial akibat pandemi Covid-19 menjadi salah satu alasan pembelian emas oleh bank sentral tersebut.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular