Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun menguat di perdagangan pasar spot.
Pada Senin (27/7/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.605. Rupiah menguat 0,06% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Di 'arena' pasar spot, rupiah mengawali hari dengan penguatan 0,28%. Seiring perjalanan rupiah semakin menguat, di mana pada pukul 10:00 WIB mata uang Ibu Pertiwi terapresiasi 0,45% dan berada di Rp 14.475/US$. Rupiah berada di posisi terkuat sejak 14 Juli.
Tidak hanya rupiah, hampir seluruh mata uang utama Asia pun menguat di hadapan dolar AS. Namun apresiasi 0,62% sudah lebih dari cukup untuk membawa rupiah kembali jadi yang terbaik di Benua Kuning.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia di perdagangan pasar spot pada pukul 10:02 WIB:
Data ekonomi terbaru yang ciamik menjadi 'bahan bakar' optimisme investor sehingga berkenan menempatkan dana di pasar keuangan Asia. Di Jepang, belanja modal perusahaan pada kuartal I-2020 naik 0,1% year-on-year (YoY) setelah pada kuartal sebelumnya anjlok 3,5%.
Sementara di China, keuntungan perusahaan industri manufaktur pada Juni memang turun 12,8% year-to-date (YtD). Namun sudah lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang ambles 19,3%.
Dua data ini menggambarkan bahwa proses pemulihan ekonomi yang terpukul dahsyat akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) terus berlangsung. Kalau tidak ada aral melintang, misalnya kasus corona melonjak dan membuat pembatasan sosial (social distancing) kembali diketatkan, maka bukan tidak mungkin ekonomi bisa pulih dalam waktu yang relatif singkat.
Selain itu, rupiah dkk di Asia bisa menguat karena memang dolar AS sedang melemah secara global. Pada pukul 09:48 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,43%.
Pekan ini, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menggelar rapat bulanan untuk menentukan suku bunga acuan. Mengutip CME FedWatch, kemungkinan suku bunga acuan bertahan di 0-0,25% adalah 100%. Tidak ada ruang sama sekali untuk perubahan.
Suku bunga acuan yang rendah ikut menekan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Negeri Adikuasa. Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 0,588%. Bahkan yield sempat berada di kisaran 0,4% pada Maret lalu, terendah sepanjang sejarah AS modern.
Sementara pada saat yang sama, inflasi AS masih rendah. Pada Juni, laju inflasi AS adalah 0,6% YoY. Jadi suku bunga riil yang didapat investor (setelah dikurangi inflasi) adalah minus. Artinya, menaruh duit di surat utang pemerintahan Presiden Donald Trump bukannya untung malah nombok.
"The Fed telah membuat suku bunga riil terdorong ke teritori negatif. Pada saat yang sama, situasi ekonomi di negara-negara lain mulai membaik. Ini semakin membuat investor menjauh," kata Karl Schamotta, Chief Market Strategist di Cambridge Global Payment, sebagaimana diberitakan Reuters.
Aset-aset berbasis dolar AS yang kurang 'seksi' membuat permintaan terhadap mata uang itu turun. Akibatnya, dolar AS dihajar habis-habisan oleh mata uang lainnya, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA