
Resesi Nggak Laku, Ekonomi China Tetap Jaya

Jakarta, CNBC Indonesia - Wabah virus corona (COVID-19) telah membuat ekonomi banyak negara mengalami kesengsaraan. Bahkan, ekonomi beberapa negara maju seperti Singapura dan Korea Selatan telah terjerat dalam resesi tajam.
Namun demikian, ekonomi China, negara tempat wabah mematikan itu pertama kali ditemukan, justru diperkirakan akan mencatatkan pertumbuhan. Sebagaimana diyakini para ekonom dalam sebuah jajak pendapat Reuters pada Jumat lalu (24/7/2020).
Para ekonom dalam jajak pendapat memperkirakan ekonomi China akan pulih secara mantap di sisa tahun ini, akibat banyaknya langkah-langkah stimulus yang dikeluarkan pemerintah untuk 'mengobati' ekonomi yang terluka akibat wabah asal kota Wuhan itu.
Ekonomi terbesar kedua di dunia itu sekarang ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 2,2% di tahun 2020, menurut median dari 42 analis yang disurvei oleh Reuters. Proyeksi pertumbuhan itu lebih tinggi dari 1,8% yang diproyeksikan dalam jajak pendapat sebelumnya yang dilaksanakan pada bulan April.
Namun demikian, proyeksi pertumbuhan itu masih akan menjadi yang terlemah sejak 1976, tahun terakhir Revolusi Kebudayaan Mao Zedong.
Di sisi lain, analis memperingatkan bahwa rebound sangat bergantung pada investasi yang dipimpin oleh negara, sementara konsumsi tetap lemah. Pendapatan disposable nasional per kapita turun 1,3% pada paruh pertama tahun ini, menurut data resmi.
Sektor manufaktur dan konstruksi telah pulih relatif cepat, sebagian besar berkat dorongan infrastruktur besar-besaran dan rebound dalam pembangunan kembali. Tetapi sektor jasa telah tertinggal, dengan bisnis catering, perhotelan, dan hiburan masih sulit untuk bangkit di era new normal akibat adanya kekhawatiran akan kebangkitan kembali wabah. Sentimen konsumen yang berhati-hati juga turut menghalangi pemulihan.
Ekspor, sementara itu, agak membaik. Pemulihan sebagian besar disebabkan oleh permintaan besar-besaran untuk peralatan medis di saat seluruh dunia memerangi pandemi, meskipun guncangan krisis kesehatan diperkirakan akan menekan permintaan global untuk beberapa waktu mendatang.
"Kami masih melihat ketidakpastian pertumbuhan di depan dari pembukaan kembali yang bergelombang dan tidak merata di negara lain, lingkungan kebijakan yang kurang menguntungkan, dan hilangnya pendorong pertumbuhan yang kuat dalam konsumsi/jasa di tengah meningkatnya ketidakpastian di pasar tenaga kerja," kata analis dari Bank of America Merrill Lynch.
Sebelumnya, kebangkitan ekonomi China telah terjadi di tengah pandemi. Di mana pada kuartal kedua ekonomi China tumbuh 3,2% dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan terjadi setelah ekonomi berkontraksi 6,8% dalam tiga bulan pertama tahun ini karena negara ini telah melakukan penguncian (lockdown) besar-besaran untuk membendung penyebaran wabah.
China termasuk negara yang cukup berhasil dalam menekan penyebaran wabah karena kasusnya tidak banyak bertambah selama beberapa bulan ini. Per Sabtu ini, negara ini telah melaporkan 83.750 kasus dengan 4.634 kematian dan 78.873 sembuh. Dengan angka itu, China kini menjadi negara ke-24 yang memiliki kasus COVID-19 terbanyak di dunia.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Jepang Masuk Jurang Resesi, Jerman Jadi Negara Ekonomi Terbesar
