Lampu Kuning Emiten Properti Kala Pandemi, Tahan Berapa Lama?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 July 2020 14:00
Ilustrasi rumah Komersial
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Sebelumnya pada awal April, lembaga pemeringkat utang lain yakni Fitch juga merilis laporan untuk sektor properti Tanah Air. Dalam laporan tersebut, Fitch mendowngrade outlook sektor ini menjadi negatif. 

Fitch memperkirakan permintaan akan menurun 50% pada kuartal kedua, kemudian mulai membaik pada kuartal III dan IV dengan masing-masing penurunan sebesar 30% dan 20%.

Lembaga jasa keuangan global tersebut juga menyoroti beberapa emiten properti dalam negeri. Menurut Fitch, PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) [B-] menjadi yang paling rentan terhadap penurunan penjualan rumah di tahun ini mengingat rating perusahaan disokong oleh kemampuan perusahaan untuk mendongkrak pre-sales melalui proyek baru yang dimulai pada semester kedua tahun ini. 

LPKR memiliki arus kas yang memadai untuk 12 bulan ke depan. Namun likuiditas berpotensi tertekan jika tidak ada perubahan yang signifikan dari sisi penjualan. Hal ini membuat Fitch merevisi outlook LPKR menjadi negatif.

Di antara emiten properti lain, PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) [CCC+] dan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) [B] bahkan lebih rentan lagi terhadap penurunan permintaan rumah dan atau disruspi yang terjadi di pasar modal dan kredit. 

Agung Podomoro harus melepaskan investasi di propertinya untuk mendukung likuiditasnya dan juga membayar kewajibannya berupa utang senilai US$ 127 juta yang akan jatuh tempo pada 2021. Sementara itu ASRI membutuhkan dana senilai US$ 115 juta untuk membayar surat utang denominasi dolarnya yang jatuh tempor April tahun depan.

Beberapa emiten properti lain seperti CTRA, MDLN, KIJA, PPRO juga terancam apabila pelemahan permintaan domestik terjadi dalam waktu yang lama dan volatilitas nilai tukar yang tinggi.

Sementara itu untuk emiten PWON dan BSDE, dinilai memiliki likuiditas yang kuat didukung dengan kas perusahaan yang besar. Sehingga Fitch menilai pandemi ini tidak akan berdampak rating dari dua perusahaan.

Namun jika melihat realita di lapangan, korban sebenarnya sudah mulai berjatuhan. Bahkan sebelum pandemi benar-benar mengganas. Pertama adalah perusahaan pelat merah Perumnas yang gagal membayar MTN senilai 200 miliar pada 28 April lalu. 

Kemudian ada juga kasus MDLN yang menunda pembayaran obligasi sebesar Rp 150 miliar yang jatuh tempo pada 7 Juli lalu. Melalui restrukturisasi, emiten ini mendapat keringanan berupa bunga dan waktu pelunasan. 

Kemudian yang paling baru adalah hangatnya perbincangan terkait status COWL yang dinyatakan pailit oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang tertuang dalam surat Perkara Nomor: 21/Pdt. Sus/Pailit/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Tak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai terus menekan kinerja keuangan perusahaan. Saat pandemi merebak, pendapatan masyarakat turun sehingga daya beli tergerus dan masyarakat lebih fokus pada kebutuhan primer. 

Permintaan yang lemah juga didorong oleh kredit yang masih cenderung mahal. Meskipun Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga acuan secara agresif sebesar 100 bps, tetapi suku bunga kredit untuk KPR dan KPA reratanya masih tinggi dan di atas 11%. 

Selain itu fokus bank yang akan mendorong kredit untuk modal kerja dan UMKM pun menjadi tantangan bagi bisnis properti terutama perumahan yang lebih dari 70%-nya ditopang oleh kredit. 

Tahun ini, sektor properti Indonesia belum bisa diharapkan. Ekonomi RI yang diperkirakan mengalami kontraksi membuat permintaan terhadap perumahan juga mengalami kontraksi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular