Sentimen Pasar Pekan Depan

Hai Pelaku Pasar, Sudah Siap Sambut Resesi AS?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 July 2020 19:45
APTOPIX Trump
Foto: AP/Patrick Semansky

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi kembali mencuat di pekan ini setelah perekonomian Singapura mengalami kontraksi dua kuartal beruntun. "Hantu" resesi tersebut masih akan "menghantui" pasar finansial global di pekan depan. Apalagi, Amerika Serikat (AS) akan merilis data produk domestic bruto (PDB) kuartal II-2020 pada Kamis 30 Juni lalu.

Memang, data tersebut baru akan dirilis 2 pekan depan, tetapi pelaku pasar tentunya sudah mulai bersiap-siap "menyambutnya".

Di kuartal I-2020, perekonomian AS mengalami kontraksi 5%, sementara di kuartal II-2020, hasil polling Reuters menunjukkan PDB diprediksi berkontraksi 32,4%, benar-benar nyungsep. Sehingga hanya keajaiban yang luar biasa yang bisa membuat AS lepas dari resesi di kuartal II-2020 ini.

Tetapi melihat data ekonomi yang dirilis belakangan ini, perekonomian AS sudah menunjukkan pemulihan di penghujung kuartal II-2020. Sehingga ada kemungkinan kontraksi pertumbuhan ekonomi tidak seburuk hasil polling Reuters.

Jika hal tersebut terjadi, efek resesi AS bukannya membuat pasar finansial global bergejolak, tetapi malah menguat. Melihat pergerakan bursa saham Singapura yang hanya melemah 1,29% di pekan ini meski mengalami resesi, penguatan bursa saham global mungkin saja terjadi merespon data PDB AS. 

Sebelum AS "sah" mengalami resesi, di pekan ini juga cukup banyak isu yang akan mempengaruhi pasar finansial dalam negeri.

Meningkatnya risiko resesi di Indonesia masih menjadi sentimen negatif. Pada Kamis (16/7/2020) Bank Dunia merilis laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020. Laporan itu diberi judul The Long Road to Recovery. 

Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC (AS) itu memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%. Namun Bank Dunia punya skenario kedua, yaitu ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam dan pembatasan sosial (social distancing) domestik lebih ketat.

"Ekonomi Indonesia bisa saja memasuki resesi jika pembatasan sosial berlanjut pada kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 dan/atau resesi ekonomi dunia lebih parah dari perkiraan sebelumnya," tulis laporan Bank Dunia.

Di hari yang sama dengan rilis laporan tersebut, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi selama 14 hari, akibat penyebaran kasus penyakit virus corona yang masih cukup tinggi. PSSB transisi yang terus diperpanjang tersebut berisiko membuat pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lebih lambat dan lama.

Juli merupakan awal kuartal III-2020, jika PSBB transisi terus berlanjut, artinya masih belum semua sektor ekonomi yang dibuka, maka ada risiko pertumbuhan ekonomi minus. Maklum saja, DKI Jakarta berokontribusi sebesar 29% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional di tahun 2019.

Sehingga jika PDB minus lagi di kuartal III-2020, maka Indonesia akan resmi mengalami resesi, mengingat pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 diproyeksikan mengalami kontraksi.

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya memperkirakan ekonomi April-Juni akan terkontraksi dalam kisaran -3,5% hingga -5,1%.

Sementara PDB kuartal III-2020 diramal di kisaran -1% sampai 1,2%. Itu artinya memang ada risiko Indonesia mengalami resesi di kuartal III-2020 nanti.

 

Korea Selatan akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 pada Kamis (23/7/2020) dan berisiko mengalami resesi teknikal. Produk domestic bruto (PDB) Negeri Ginseng pada kuartal I-2020 dirilis minus 1,3% quarter-to-quarter (QtQ), sehingga jika kuartal II-2020 kembali minus artinya mengalami resesi teknikal.

Seandaianya itu terjadi, tentunya isu resesi masih akan terus menghangat yang menjadi beban bagi pergerakan pasar finansial global.
Jika dilihat secara year-on-year (YoY), PDB Korea Selatan di kuartal I-2020 masih tumbuh 1,4%, sehingga meski kali ini PDB dirilis negatif, belum akan dikatakan sebagai resesi.

Untuk diketahui, ketika PDB suatu negara minus dalam 2 kuartal beruntun secara YoY maka dikatakan mengalami resesi. Sementara jika minus secara kuartalan atau quarter-to-quarter (QtQ) dikatakan sebagai resesi teknikal.

Selain itu, ada juga bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) yang akan mengumumkan suku bunga acuan pada Senin (20/7/2020) besok. Berdasarkan konsensus Trading Economic, PBoC diramal masih mempertahankan Loan Prime Rate tenor 1 tahun di 3,85% dan tenor 5 tahun di 4,65%.
Meski demikian, pelaku pasar tentunya juga menanti apakah ada sinyal-sinyal pelonggaran moneter untuk lebih memacu perekonomian China.

China saat ini bisa dikatakan menjadi negara yang terdepan dalam pemulihan ekonomi di tengah pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Di kuartal I-2020, perekonomian China mengalami kontraksinya sangat dalam, 6,8% YoY, terparah sepanjang sejarah. Negeri Tiongkok langsung bangkit di kuartal II-2020 dengan membukukan pertumbuhan ekonomi 3,2% YoY.

Pertumbuhan tersebut menjadi kabar bagus bagi, sebabnya China merupakan pasar ekspor non-migas terbesar Indonesia.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Juni 2020, nilai ekspor non-migas Indonesia ke China mencapai US$ 12,83 miliar. Nilai ekspor tersebut mengalami kenaikan nyaris 12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Ahli strategi pasar global JPMorgan Asset Management, Marcella Chow dalam catatan yang dikutip CNBC International memprediksi pertumbuhan ekonomi China akan terus berlanjut. Kabar baik lagi bagi Indonesia.

"Melihat ke depan, kami memperkirakan akan melihat berlanjutnya perbaikan (ekonomi China) di kuartal-kuartal selanjutnya melihat aktivitas ekonomi domestik yang sebagian besar sudah kembali," kata Chow.

"Bersama dengan peningkatan belanja pemerintah di sektor infrastruktur, konsumsi bisa jadi pendorong pertumbuhan ekonomi baru. Saat ini rumah tangga di China memiliki deposit di bank sebagai antisiapasi selama masa pandemi yang menyebabkan pelambatan ekonomi, pemulihan konsumsi yang cepat kemungkinan baru akan terjadi ketika tingkat kepercayaan mereka meningkat," kata Chow.

Ketika ekonomi China terus tumbuh, maka permintaan untuk impor akan meningkat, sehingga akan menggerakkan ekonomi dalam negeri. Sehingga peluang ada peluang Indonesia akan segara bangkit dari keterpurukan.

Di perdagangan terakhir pekan depan, Jumat (24/7/2020), dari Eropa akan dirilis data purchasing managers' index (PMI) manufaktur dari Eropa yang bisa menunjukkan apakah ekonomi Benua Biru sudah mulai menunjukkan pemulihan atau malah masih berjuang melawan pandemi Covid-19.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular