
Hai Pelaku Pasar, Sudah Siap Sambut Resesi AS?

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi kembali mencuat di pekan ini setelah perekonomian Singapura mengalami kontraksi dua kuartal beruntun. "Hantu" resesi tersebut masih akan "menghantui" pasar finansial global di pekan depan. Apalagi, Amerika Serikat (AS) akan merilis data produk domestic bruto (PDB) kuartal II-2020 pada Kamis 30 Juni lalu.
Memang, data tersebut baru akan dirilis 2 pekan depan, tetapi pelaku pasar tentunya sudah mulai bersiap-siap "menyambutnya".
Di kuartal I-2020, perekonomian AS mengalami kontraksi 5%, sementara di kuartal II-2020, hasil polling Reuters menunjukkan PDB diprediksi berkontraksi 32,4%, benar-benar nyungsep. Sehingga hanya keajaiban yang luar biasa yang bisa membuat AS lepas dari resesi di kuartal II-2020 ini.
Tetapi melihat data ekonomi yang dirilis belakangan ini, perekonomian AS sudah menunjukkan pemulihan di penghujung kuartal II-2020. Sehingga ada kemungkinan kontraksi pertumbuhan ekonomi tidak seburuk hasil polling Reuters.
Jika hal tersebut terjadi, efek resesi AS bukannya membuat pasar finansial global bergejolak, tetapi malah menguat. Melihat pergerakan bursa saham Singapura yang hanya melemah 1,29% di pekan ini meski mengalami resesi, penguatan bursa saham global mungkin saja terjadi merespon data PDB AS.
Sebelum AS "sah" mengalami resesi, di pekan ini juga cukup banyak isu yang akan mempengaruhi pasar finansial dalam negeri.
Meningkatnya risiko resesi di Indonesia masih menjadi sentimen negatif. Pada Kamis (16/7/2020) Bank Dunia merilis laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020. Laporan itu diberi judul The Long Road to Recovery.
Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC (AS) itu memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%. Namun Bank Dunia punya skenario kedua, yaitu ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam dan pembatasan sosial (social distancing) domestik lebih ketat.
"Ekonomi Indonesia bisa saja memasuki resesi jika pembatasan sosial berlanjut pada kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 dan/atau resesi ekonomi dunia lebih parah dari perkiraan sebelumnya," tulis laporan Bank Dunia.
Di hari yang sama dengan rilis laporan tersebut, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi selama 14 hari, akibat penyebaran kasus penyakit virus corona yang masih cukup tinggi. PSSB transisi yang terus diperpanjang tersebut berisiko membuat pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lebih lambat dan lama.
Juli merupakan awal kuartal III-2020, jika PSBB transisi terus berlanjut, artinya masih belum semua sektor ekonomi yang dibuka, maka ada risiko pertumbuhan ekonomi minus. Maklum saja, DKI Jakarta berokontribusi sebesar 29% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional di tahun 2019.
Sehingga jika PDB minus lagi di kuartal III-2020, maka Indonesia akan resmi mengalami resesi, mengingat pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 diproyeksikan mengalami kontraksi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya memperkirakan ekonomi April-Juni akan terkontraksi dalam kisaran -3,5% hingga -5,1%.
Sementara PDB kuartal III-2020 diramal di kisaran -1% sampai 1,2%. Itu artinya memang ada risiko Indonesia mengalami resesi di kuartal III-2020 nanti.