
Jika Sebuah Negara Alami Resesi, Ini Dampak Mengerikannya

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepekan terakhir, berseliweran kata 'Resesi'. Hal ini dipicu negara tetangga yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari Indonesia mengalami resesi.
Memang, semenjak virus corona menyerang dunia ini, kata resesi sering kali disebut, dan membuat cemas semua orang. Resesi sendiri merupakan penurunan aktivitas ekonomi secara signifikan dan berlangsung setidaknya dalam dua kuartal beruntun.
Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika produk domestic bruto (PDB) mengalami kontraksi atau minus dalam 2 kuartal beruntun secara tahunan atau year-on-year (YoY). Sementara jika PDB minus 2 kuartal beruntun secara kuartalan atau quarter-on-quarter (QoQ) disebut sebagai resesi teknikal.
Melansir The Balance, ada 5 indikator ekonomi yang dijadikan acuan suatu negara mengalami resesi, yakni PDB riil, pendapatan, tingkat pengangguran, manufaktur, dan penjualan ritel.
Resesi sebenarnya adalah hal yang biasa dan kerap terjadi dalam sebuah siklus perekonomian, tetapi dampak yang diberikan ketika terjadi resesi cukup buruk.
Negara sekelas Amerika Serikat (AS) saja sudah mengalami puluhan kali resesi. Melansir Investopedia, AS (negara dengan nilai ekonomi terbesar dimuka bumi ini) sudah mengalami 33 kali resesi sejak tahun 1854. Sementara jika dilihat sejak tahun 1980, Negeri Paman Sam mengalami 4 kali resesim termasuk yang terjadi saat krisis finansial global 2008.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kali terakhir Tanah Air tercinta pernah mengalami resesi pada tahun 1998, bahkan sangat dalam, dan ada risiko akan terjadi lagi di tahun ini. Sebabnya, tentu saja pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti.
Tidak hanya resesi, bahkan saat itu Indonesia dikatakan mengalami depresi akibat PDB yang minus dalam 5 kuartal beruntun. Sepanjang 1998, PDB Indonesia mengalami kontraksi 13,02%.
Sementara di tahun ini, Indonesia berisiko mengalami resesi, tetapi kemungkinan tidak akan se-horor 1998. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery memprediksi PDB Indonesia akan minus 0,3% di tahun ini.
Di kuartal I-2020, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,97% YoY, turun jauh dari kuartal IV-2019 sebesar 4,97%. Di kuartal ini, perekonomian berisiko semakin nyungsep, sebabnya, penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mulai berlaku efektif di beberapa daerah. Sementara pada kuartal I lalu, kebijakan PSBB belum diterapkan.
Akibatnya, roda perekonomian di kuartal II mengalami perlambatan signifikan, sehingga pertumbuhan ekonomi terancam merosot.
Data pengangguran, aktivitas manufaktur, serta penjualan ritel Indonesia sudah mengirim sinyal potensi terjadinya resesi.
Pandemi Covid-19 membuat Pemutusan Hubungan Kerja terjadi dimana-mana. Per 12 Mei, total pekerja yang dirumahkan dan di-PHK sebanyak 1.727.913 orang.
Sektor manufaktur Indonesia juga merosot tajam, meski sedikit membaik di bulan Mei. Pada Selasa (2/6/2020), IHS Markit melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia periode Mei adalah 28,6. Naik dibandingkan April yang sebesar 27,5.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 berarti ekspansi sementara di atas 50 berarti ekspansi.
PMI Indonesia di bulan April merupakan yang terendah sepanjang pencatatan sejak April 2011.
Sementara itu penjualan ritel atau eceran juga nyungsep. Dalam rilis terbaru Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia, penjualan ritel bulan April 2020 tercatat minus 16,9% YoY. Ini merupakan kontraksi paling dalam sejak Desember 2008.
Hampir seluruh pos penjualan ritel mengalami kontraksi. Pos yang paling dalam kontraksinya adalah penjualan bahan bakar -39% YoY, barang budaya dan rekreasi sebesar -48,5% YoY dan barang lainnya seperti sandang sebesar -68,5% YoY.
Maklum saja, saat PSBB diterapkan masyarakat diminta untuk tetap di rumah, sehingga konsumsi pun menurun drastis.
HALAMAN SELANJUTNYA > DAMPAK RESESI SINGAPURA SUDAH NYATA