
Saat China 'Buang Dolar', Apa Dampaknya ke Indonesia?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit virus corona (Covid-19), sudah membuat dunia dilanda krisis kesehatan, kemudian memicu pelambatan ekonomi di berbagai negara hingga risiko terjadinya resesi global. Selain itu, pandemi Covid-19 juga membuat "musuh" lama bersitegang lagi, yakni Amerika Serikat (AS) dan China.
Hubungan kedua negara di awal tahun ini sempat mesra setelah menandatangani kesepakatan dagang fase I. Tetapi semua berubah dalam hitungan bulan.
Panas-dingin hubungan Amerika Serikat (AS) dengan China menyebabkan pemerintah kedua negara mengambil berbagai kebijakan guna menunjukkan "siapa yang lebih kuat". Buruknya hubungan kedua negara dimulai ketika Presiden AS, Donald Trump, tidak puas kala berdagangan dengan China. Negeri Paman Sam selalu mencatat defisit yang jumbo.
Akhirnya, Presiden Trump mengobarkan perang dagang dengan menaikkan bea masuk importasi produk China mulai pertengahan 2018, dan dibalas oleh China. Saling balas menaikkan bea importasi terus berlangsung hingga akhirnya kedua belah pihak menandatangani kesepakatan dagang fase I pada Januari lalu.
Masalah AS vs China tidak hanya di sektor perdagangan, Trump juga menyasar perusahaan-perusahaan China yang dikatakan melakukan pencurian kekayaan intelektual, kemudian masalah politik terkait situasi di Hong Kong, dan yang terbaru masalah virus corona, yang dituduh berasal dari laboratorium China.
Pada tahun lalu, selain menaikkan bea masuk importasi, China juga menerapkan kebijakan dedolarirasi atau "buang dolar" dengan menjual kempemilikan obligasi AS (Treasury) kebijakan tersebut dikatakan menjadi senjata pamungkas China untuk melawan AS.
Maklum saja, jika China melepas kepemilikan Treasury dalam jumlah besar maka kurs dolar AS bisa jeblok, harga Treasury akan merosot dan yield-nya melesat naik, suku bunga juga akan terkerek naik, pada akhirnya ekonomi AS yang sudah merosot.
Jika hal tersebut juga akan memicu gejolak finansial global, dan tentunya akan berbalik memukul perekonomian China juga.
Kepala ekonomi ING Bank di China, Iris Pang, mengatakan China tidak akan melepas Treasury yang dimiliki dalam jumlah besar dan waktu singkat, kecuali mereka tidak punya pilihan lain. China dikatakan akan mempertimbangkan langkah-langkah lain, salah satunya mengurangi jumlah pembelian Treasury yang baru diterbitkan.
"Dalam beberapa bulan ke depan, China kemungkinan akan berhenti membeli Treasury untuk menunjukkan niatnya ke AS. Jika hal tersebut dilakukan, maka China bisa saja melepas Treasury AS setelahnya," kata Pang, sebagaimana dilansir South China Morning Post, Rabu (6/5/2020).
Meski tidak melepas Treasury dalam jumlah besar, China perlahan terus mengurangi kepemilikan terhadap surat utang AS tersebut. Salah satu tujuanya adalah mengurangi ketergantungan dengan dolar AS atau dedolariasi, dan berusaha menaikkan pamor yuan China sebagai mata uang internasional.
"Internasionalisasi yuan berubah dari sesuatu yang diinginkan menjadi hal yang sangat diperlukan bagi Beijing. China perlu mencari pengganti dolar di tengah ketidakpastian politik," kata Ding Shuang, kepala ekonom Standard Chartered untuk wilayah China dan Asia Utara, seperti diberitakan Bloomberg.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan AS, pada akhir April 2020, nilai Treasury yang dimiliki China sebesar US$ 1,07 triliun atau sekitar Rp 14.400 triliun (kurs Rp 14.400/US$), atau sekitar 15,8% dari total Treasury yang beredar di muka bumi ini. Nilai tersebut juga setara dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Namun jika dilihat ke belakangan, kepemilikan Treasury China terus menurun, pada April 2019 nilainya sebesar US$ 1,11 triliun, artinya berkurang sekitar US$ 40 miliar (Rp 576 triliun) atau 3,61% dalam tempo 1 tahun. Pada April tahun lalu, China masih menjadi negara pemegang Treasury terbesar di dunia, tetapi posisi tersebut kini disabet oleh Jepang sejak Juni 2019.
China bisa dikatakan smooth dalam mengurangi Treasury miliknya, sehingga dampaknya ke pasar pasar finansial global tidak terasa, begitu juga dengan pasar finansial Indonesia. Tetapi beda ceritanya jika China melakukan aksi "buang dolar" secara agresif.