Awas, Ada Ancaman Ledakan Utang Perusahaan!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
14 July 2020 14:38
Ilustrasi Dollar Rupiah
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menjadi penyebab utama penurunan pendapatan, tergerusnya laba hingga hilangnya kas korporasi. Tak berhenti di situ saja, pandemi membuat utang korporasi di dunia membengkak. 

Ketika pandemi Covid-19 merebak, mobilitas publik secara masih dibatasi. Aktivitas ekonomi menjadi mandek bahkan seperti mati suri. Lockdown global yang membuat lebih dari 3 miliar penduduk bumi terkurung di rumah masing-masing telah membuat pendapatan perusahaan di berbagai penjuru dunia menurun. 

Perusahaan pengelola dana (hedge fund) terbesar di dunia besutan investor kawakan Ray Dalio yakni Bridgewater Associate dalam kajiannya menyebut pandemi Covid-19 berpotensi memukul keuangan korporasi sebesar US$ 20 triliun. 

Angka tersebut tentunya sangat fantastis karena hampir setara dengan output ekonomi Negeri Paman Sam yang mencapai US$ 21,4 triliun di tahun lalu. Dalam laporan risetnya, Bridgewater Associates memperkirakan pendapatan korporasi global turun sebesar US$ 21 triliun.

Pendapatan yang turun diperkirakan memicu tergerusnya laba hingga US$ 5,8 triliun dan mengganggu arus kas perusahaan hingga US$ 2,9 triliun. Penurunan laba dan terganggunya arus kas jelas membuat perusahaan akan memangkas berbagai pengeluarannya untuk efisiensi. 

Korporasi global diperkirakan akan memangkas US$ 6 triliun untuk belanja modal (CapEx) dan tenaga kerja serta sebesar US$ 1 triliun untuk pengeluaran keuangan lainnya di tahun ini. Bahkan dengan pemangkasan pengeluaran itu pun korporasi global masih membutuhkan tambahan modal sekitar US$ 1,5 triliun.

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan ekonomi global berada dalam resesi yang dalam. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan output global akan menyusut 4,9% tahun ini. 

Resesi yang memicu tergerusnya laba dan terganggunya perusahaan membuat kebutuhan akan pembiayaan naik. Perusahaan investasi global yang bermarkas di London yakni Janus Handerson memperkirakan utang korporasi global akan membengkak US$ 1 triliun di tahun ini, naik dari tahun lalu yang bertambah US$ 625 miliar.

Utang korporasi diperkirakan mencapai US$ 9,3 triliun dengan adanya tambahan US$ 1 triliun tersebut jika mengacu pada laporan Janus Handerson yang bertajuk Corporate Debt Index.

Sebenarnya tanpa pandemi saja, utang korporasi sudah naik sangat signifikan sejak 2014 hingga tahun lalu. Dalam lima tahun terakhir, utang korporasi sudah naik 53,2%. Selama ini utang tersebut banyak dialokasikan untuk tiga hal seperti melakukan aksi korporasi berupa Merger & Akuisisi (M&A), buyback saham hingga pembagian dividen.

Buyback saham dan pembagian dividen menggunakan utang ini sebenarnya disorot oleh IMF. Namun kebutuhan investor akan pendapatan (dividen) dan kebutuhan korporasi untuk investasi membuat perusahaan menempuh jalan tersebut.

Lebih lanjut dalam laporan tersebut Janus Handerson juga menyoroti, meski perusahaan menurunkan pembagian dividen sebesar US$ 140 miliar tahun ini, mengurangi buyback saham hingga menunda akuisisi, kebutuhan akan pembiayaan masih tinggi. Perusahaan membutuhkan likuiditas untuk bertahan di kala pandemi seperti saat ini. 

Dalam laporan tersebut sebenarnya Janus Handerson juga menyoroti bahwa tak semua perusahaan bergantung pada utang. Ada beberapa perusahaan yang memiliki uang kas yang berlimpah (ample liquidity).

Janus Handerson mencontohkan Volkwagen sebagai perusahaan dengan utang yang paling bengkak. Tercatat pada 2019 utang (net debt) perusahaan pembuat mobil asal Jerman tersebut mencapai lebih dari US$ 190 miliar. 

Jika ditambah dengan 9 perusahaan paling banyak berhutang lainnya, maka total utang korporasi tersebut mencapai US$ 1,36 triliun atau setara dengan 16% dari total utang korporasi pada 2019. 

Menurut Janus Handerson utang memang cenderung lebih mendukung perusahaan yang besar  berada di sektor yang tradisional dan asset rich seperti perusahaan migas, pertambangan dan manufaktur. 

Sementara perusahaan di industri yang relatif baru seperti teknologi cenderung lebih rendah. Seperti induk perusahaan Google yakni Alphabet misalnya yang memiliki kas berlimpah hingga US$ 104 miliar. Beberapa perusahan lain yang bergerak di bidang teknologi seperti Facebook dan Alibaba juga tercatat memiliki kas berlimpah.

Jadi pada dasarnya appetite untuk berhutang berbeda-beda dan sangat tergantung pada industri hingga geografis, meski di tengah kondisi saat ini menerbitkan instrumen utang (obligasi) memang didukung terutama oleh kebijakan dan intervensi bank sentral di pasar. 

Kebutuhan dana untuk menjaga neraca (balance sheet) tetap kuat di masa pandemi ini sebenarnya bisa dilakukan dengan berbagai macam metode mulai dari meminjam ke bank, penerbitan surat utang hingga yang sifatnya berbasis ekuitas atau mengeluarkan saham baru. 

Jika melihat kebijakan bank sentral yang ultra akomodatif seperti saat ini, maka peluang pendanaan melalui pinjaman atau surat utang menjadi opsi yang menarik bagi korporasi. 

Sejak pandemi Covid-19 merebak, bank sentral global secara agresif memangkas suku bunga acuannya. Kini bank suku bunga acuan bank sentral G4 (Fed, ECB, BoJ, BoE) sudah berada di level terendahnya.

Untuk menjaga pasar keuangan tetap berfungsi dan tak seret likuiditas, bank sentral global juga melakukan program pembelian aset-aset keuangan atau yang disebut Quantitative Easing (QE). 

QE yang pertama kali diterapkan di Jepang pada 1989 kemudian dipopulerkan oleh bank sentral AS, The Fed pada 2008 lalu berbeda dengan yang kali ini. QE kali ini lebih agresif.

Dari sisi nominal, The Fed siap menggelontorkan likuiditas (cetak duit) sampai berapapun. Dari sisi jenis instrumen yang dibeli, The Fed juga tak hanya membeli surat utang pemerintah (US Treasury) serta efek beragun aset KPR (Mortgage Backed Securities/MBS) tetapi juga membeli Exchange Traded Fund (ETF) obligasi korporasi bahkan obligasi korporasi melalui metode indeksasi. 

The Fed yang agresif membuat emisi obligasi di AS pada masa pandemi melonjak tinggi, baik untuk yang ratingnya investment grade hingga speculative. Menurut data S&P Global emisi surat utang oleh perusahaan finansial maupun non-finansial di AS hingga 25 Juni mencapai US$ 956 miliar dan telah melampaui tahun sebelumnya yang hanya US$ 933 miliar. 

Setelah The Fed mengumumkan kebijakan moneternya tersebut, emisi obligasi untuk rating investment grade naik hingga 126,5%, sementara untuk yang bersifat spekulatif naik 57,8%. 

Bank sentral Eropa (ECB) juga melakukan langkah serupa. Namun emisi obligasi di Eropa yang mengalami kenaikan adalah yang mendapat rating investment grade yang melesat hingga 161,1%. Namun untuk yang ratingnya speculative justru mengalami penurunan hingga 36%. 

Bagaimanapun juga intervensi bank sentral di pasar ini membuat spread obligasi investment grade dan speculative mengalami penyempitan. Dengan suku bunga yang sudah rendah dan menyempitnya spread maka ongkos meminjam jadi lebih murah, ini lah yang mendorong korporasi global berbondong-bondong menerbitkan surat utang. 

Membengkaknya utang ini sejatinya tetap harus diwaspadai oleh banyak pihak terutama pemerintah, otoritas moneter hingga korporasi itu sendiri. Poin yang menjadi masalah adalah apakah utang yang sudah sangat tinggi ini bisa sustainable? Berat rasanya.

Jika melihat metrik keuangan korporasi global saat ini berdasarkan data Janus Handerson, biaya pembayaran bunga utang terhadap laba operasi sudah mencapai 15% tahun lalu. Sementara proporsi utang terhadap laba operasi mencapai 310% dan rasio utang terhadap modal (debt to equity/gearing) mencapai 59%. 

Kondisi yang dialami oleh korporasi saat ini sesungguhnya bisa dibilang mengkhawatirkan. Pasalnya pertumbuhan hutang jauh lebih cepat dibanding laju pertumbuhan laba. 

Di sisi lain, pandemi yang belum usai dan justru malah kembali merebak dengan laju yang lebih signifikan menimbulkan ancaman lain yang sangat mengerikan. Ketika dunia harus kembali berada dalam karantina yang masif dan juga ketika stimulus fiskal hingga moneter mulai dikurangi akibat prospek ekonomi yang sempat membaik di bulan April dan Mei bisa menambah kondisi semakin mengerikan.

Dalam laporannya yang berjudul The Shape of Recovery, Uneven, Unequal, Uncharted menyoroti risiko-risiko yang dihadapi oleh korporasi saat ini. Ancaman yang dihadapi oleh korporasi global bukan lagi likuiditas jangka pendek tetapi lebih mengerikan yakni solvabilitas jangka panjang. 

"Triliun dolar dalam stimulus fiskal dan moneter yang belum pernah terjadi sebelumnya dari pemerintah dan bank sentral membantu menstabilkan pasar modal dan menghindari likuiditas krisis.

"Namun, kekhawatiran meningkat atas solvabilitas perusahaan terutama karena kami melihat penarikan kembali yang signifikan dalam stimulus pemerintah, banyak yang dirancang untuk menjaga pasar tenaga kerja.

"Risiko semakin meningkat oleh peminjam perusahaan yang telah menimbulkan hutang besar sementara tingkat pendapatan cenderung tetap tertekan. Aktivitas yang lebih rendah kemungkinan akan berkembang sampai tahun 2021, atau bahkan tahun 2023 dan setelahnya untuk sektor-sektor tertentu." tulis S&P Global. 

Di saat yang sama, pandemi Covid-19 telah menyebabkan banyak perusahaan mulai mengalami gagal bayar (default). Menurut studi yang dilakukan lembaga pemeringkat lain yakni Moody's yang dipublikasikan pada 10 Juni lalu, tingkat default untuk rating spekulatif global 12-bulan naik ke 4,7% pada Mei, naik dari 4,1% pada April.

"Perlambatan ekonomi membebani kondisi kredit dan pendapatan perusahaan. Model perkiraan kami memberi sinyal tingkat default akan mencapai puncaknya pada 9,5% pada bulan Februari 2021" tulis Moody's.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa membengkaknya hutang korporasi akibat pandemi Covid-19 ketika sudah tinggi sebelumnya benar-benar menjadi ancaman baru yang mengerikan dan harus diwaspadai.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular