Alert! Harga Batu Bara Menuju Rekor Terendah

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
10 July 2020 10:52
FILE PHOTO: A worker speaks as he loads coal on a truck at a depot near a coal mine from the state-owned Longmay Group on the outskirts of Jixi, in Heilongjiang province, China, October 24, 2015. REUTERS/Jason Lee/File Photo
Foto: Batu Bara (REUTERS/Jason Lee)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara acuan Newcastle untuk kontrak yang ramai diperdagangkan kembali melemah kemarin. Usai menyentuh level tertingginya pada periode tertentu, harga batu bara akan langsung mengalami tren koreksi.

Kamis (9/7/2020), Harga batu bara ditutup melemah 0,91% ke US$ 54,55/ton. Dalam sebulan terakhir, harga batu bara bergerak dengan rentang terendah di US$ 52,1/ton dan tertinggi di US$ 56,05/ton.

Harga minyak mentah yang cenderung stabil juga menjadi sentimen yang membuat harga batu bara ikut stabil. Di sisi lain pasar batu bara masih belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Tanpa fundamental yang kokoh harga batu bara rawan kena koreksi apalagi setelah melesat tinggi.

Harga batu bara cenderung bergerak sideways sejak akhir April. Jika tidak ada perbaikan dari sisi fundamentalnya, maka ada kemungkinan pola ini akan berlanjut dan jika memang benar demikian ada potensi harga batu bara tembus ke level terendahnya lagi di US$ 52/ton.

Meski ada upaya pemangkasan output dari berbagai negara produsen seperti Indonesia, permintaan yang melambat masih jadi biang kerok tertekannya harga batu bara. Ekonomi memang mulai dipacu lagi. Namun permintaan belum sepenuhnya pulih.

Tekanan terhadap harga batu bara datang dari berbagai arah. Di kawasan Asia Pasifik, permintaan terhadap batu bara lintas laut (seaborne) masih lemah.

India dan China mulai membatasi impor batu bara mereka dan beralih ke pasokan batu bara domestik. Penerapan kebijakan kuota impor oleh China membuat pasar batu bara domestik dengan seaborne mengalami diskoneksi.

Sementara itu dari Jepang dan Korea Selatan, permintaan terhadap batu bara juga melambat. Selain akibat pandemi Covid-19, musim dingin yang cenderung hangat juga jadi faktor lain yang jadi pemicu kebutuhan batu bara kedua negara tidak setinggi musim dingin biasanya.

Harga gas yang juga anjlok dalam serta pasokannya yang melimpah menjadi ancaman bagi komoditas batu bara. Negeri Ginseng dan Negeri Sakura berpotensi beralih dari batu bara ke gas karena lebih kompetitif dan dinilai lebih ekonomis.

Di sisi lain, penurunan konsumsi listrik untuk sektor industri dan komersial di belahan bumi Barat juga membuat kebutuhan batu bara menurun. Apalagi setelah pandemi, tekanan untuk beralih ke sumber energi yang ramah lingkungan semakin tinggi di Eropa.

Jerman menjadi salah satu contoh negara Eropa yang terus berupaya untuk meninggalkan batu bara. Negeri Panser akan memberikan bonus jika perusahaan utilitas mulai beralih dari batu bara ke alternatif energi lain yang ramah lingkungan guna mendukung langkah Jerman untuk memangkas gas rumah kaca sebesar 55% pada 2030.

Di sisi lain ancaman gelombang kedua juga muncul. Lonjakan kasus yang tinggi di AS hingga 58 ribu kasus baru dalam 24 jam terakhir serta kenaikan kasus di berbagai negara lain membuat pasar diliputi kecemasan.

Apa yang ditakutkan pelaku pasar adalah jika lockdown kembali diterapkan. Beberapa kota seperti Beijing, Leicester dan Melbourne bahkan sudah menerapkan karantina wilayah untuk menekan penyebaran virus corona.

Jika lockdown kembali diterapkan secara masif, maka disrupsi rantai pasok dan pelemahan permintaan akan terjadi. Jelas ini bukan kabar yang baik untuk komoditas unggulan Indonesia dan Australia ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ukur Sentimen Pendorong Koreksi Harga Batu Bara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular