
Menguat 8 Hari Beruntun, Dolar Singapura Akhirnya KO Juga

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Singapura akhirnya melemah melawan rupiah pada perdagangan Selasa (7/7/2020), setelah membukukan penguatan dalam 8 hari beruntun. Rupiah yang selama ini tertekan akibat ekspektasi kenaikan inflasi akhirnya mampu bangkit setelah Bank Indonesia meredam ekspektasi tersebut.
Pada pukul 12:26 WIB, SG$ setara Rp 10.298,07, dolar Singapura melemah 0,71% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Dalam 8 hari terakhir, mata uang Negeri Merlion ini menguat 2,65%.
Dolar Singapura mampu menguat dalam 8 hari beruntun setelah Singapura dikatakan menjadi tempat aman (safe place) untuk investasi menjadi modal bagi mata uangnya untuk menguat.
Bank investasi ternama, Morgan Stanley mengatakan bullish terhadap pasar saham Singapura dan dikatakan sebagai safe place di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini.
"Kita bisa melihat inflow yang didukung oleh peningkatan persepsi Singapura sebagai safe place di saat terjadi ketidakpastian ekonomi dan politik regional," tulis analis Morgan Stanley, Wilson Ng dan Derek Chang, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (29/6/2020).
Valuasi bursa saham Singapura dikatakan sudah mencapai level dasar, dan diprediksi akan menguat 14%.
Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) menjadi penyebab ketidakpastian ekonomi. Guna menanggulanginya, pemerintah Singapura menggelontorkan 4 paket stimulus senilai SG$ 100 miliar, atau hampir 20% dari produk domestik bruto (PDB).
Aliran modal besar masuk ke Singapura di tahun ini, bahkan tren tersebut sudah terjadi sejak tahun lalu. Di bulan April deposito non-residence dilaporkan meningkat 44% year-on-year (YoY) menjadi SG$62,14 miliar, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Di sisi lain, ekspektasi kenaikan inflasi di Indonesia yang membuat rupiah tertekan terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin pekan lalu setuju "burden sharing" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi Covid-19.
Pemerintah sebelumnya mengajukan "burden sharing" dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon untuk keperluan public goods senilai 397,56 triliun. Kemudian ada lagi untuk non-public goods, BI akan menyerap obligasi pemerintah dengan yield sebesar suku bunga 7 Day Reserve Repo Rate dikurangi 1%.
Ada kecemasan di pasar jika, rencana "burden sharing" tersebut akhirnya terealisasi, inflasi di Indonesia akan mengalami kenaikan akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.
Tetapi kemarin sore, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur BI Perry Warjiyo mengadakan konferensi per bersama. Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menjelaskan untuk skema public goods yang sebesar Rp 397,6 triliun ini nantinya pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang dijual langsung ke BI melalui skema private placement dengan bunga bunga 0% atau ditanggung 100% oleh BI.
"Beban bunga bagi pemerintah untuk SBN khusus yang diterbitkan dengan private placement, untuk pemerintah 0%, untuk BI sebesar reverse repo ratenya atau ditanggung 100%," kata dia.
Gubernur Perry mengatakan dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut tidak besar.
Perry Warjiyo juga menambahkan dengan kebijakan ini, pihaknya akan tetap menjaga dari kesehatan sisi moneter seperti inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu, SBN yang dibeli dari pemerintah bisa dijual kembali untuk BI bisa menjalankan operasi moneternya.
Kecemasan akan kenaikan inflasi mereda, rupiah pun perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kurs Dolar Singapura Tembus Rp 11.500, Termahal dalam Sejarah
