
Dolar AS Diramal Tak Menarik, Kapan Rupiah Bisa Menguat Lagi?

Banyak faktor yang membuat rupiah kembali dalam tren pelemahan melawan dolar AS. Salah satunya jumlah kasus penyakit virus corona (Covid-19) yang terus menanjak di Indonesia. Risiko terjadinya pandemi Covid-19 gelombang kedua, hingga peluang Bank Indonesia yang akan kembali memangkas suku bunga.
Tanda-tanda rupiah akan melemah terlihat dari hasil survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan para pelaku pasar mulai "membuang" rupiah dengan mengurangi posisi beli (long) dalam 2 pekan terakhir.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (25/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,05, memburuk dari rilis dua pekan sebelumnya -0,69.
Dengan angka minus yang semakin menipis menjadi -0,05, berarti investor mulai melepas posisi beli (long) rupiah setelah terus meningkat dalam satu bulan terakhir. Apalagi posisi tersebut nyaris menjadi positif yang berarti investor mengambil posisi jual (short) rupiah. Sehingga tekanan terhadap rupiah kembali meningkat.
Menurut survei tersebut, adanya risiko penyebaran pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) menjadi penyebab investor kembali melepas aset-aset negara emerging market, termasuk Indonesia. Apalagi, menurut Reuters pelaku pasar melihat Bank Indonesia (BI) akan kembali memangkas suku bunga acuannya.
Saat BI kembali memangkas suku bunga, maka yield obligasi juga akan ikut menurun, sehingga daya tariknya akan berkurang. Aliran modal ke dalam negeri berisiko tersendat, rupiah pun kekurangan bensin untuk kembali menguat.
Selain penurunan yield obligasi, ada juga risiko naiknya inflasi di Indonesia. Hal ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin lalu setuju "sharing the pain" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19). BI setuju untuk membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon.
Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.
"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga keseluruh dunia," katanya.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab riil return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.
Sementara itu, kemarin setelah perdagangan dalam negeri ditutup, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan penambahan pasien yang mencapai 1.624 orang dalam sehari adalah rekor tertinggi sejak Indonesia mencatatkan kasus perdana pada awal Maret. Sementara dari sisi persentase, laju 2,81% adalah yang tercepat sejak 18 Juni.
Sementara hari ini, jumlah pasien positif dilaporkan sebanyak 1.301 kasus, sehingga total menjadi 60.695 kasus. Dalam 11 hari terakhir, penambahan kasus corona di Ibu Pertiwi selalu lebih dari 1.000 per hari.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]
