Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (3/7/2020). Rupiah juga membukukan catatan buruk, mengalami rentetan pelemahan 7 hari beruntun, terpanjang sejak akhir Februari lalu ketika Mata Uang Garuda melemah 8 hari beruntun.
Rupiah hari ini mengakhiri perdagangan di level Rp 14.450/US$ melemah 1,01% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Rupiah bahkan sebelumnya sempat menyentuh Rp 14.590/US$. Pelemahan rupiah dalam 2 hari terakhir cukup signifikan, sementara dalam 6 hari sebelumnya depresiasi masih tipis-tipis.
Mata Uang Garuda mulai masuk ke dalam tren melemah lagi semenjak menyentuh level terkuat 3 bulan Rp 13.810/US$ pada 8 Juni lalu. Saat itu, rupiah mencatat kinerja impresif, pada periode April hingga awal Juni terapresiasi lebih dari 15%.
Setelahnya, pergerakan harian rupiah cenderung tipis-tipis dan melemah, hingga akhirnya "meledak " di pekan ini, dalam arti melemah signifikan.
Di sisa tahun ini dan tahun depan, rupiah punya peluang untuk kembali menguat. Dengan catatan, tidak terjadi serangan virus corona gelombang kedua. Dolar AS diramal menjadi kurang menarik jika virus yang berasal dari kota Wuhan China tersebut berhasil dikontrol.
Hal tersebut terlihat dari hasil survei terbaru yang dilakukan Reuters yang dilakukan pada periode 25 Juni sampai 1 Juli terhadap 70 analis. Hasil survei tersebut menunjukkan dolar AS akan melemah.
"Dolar AS menguat dalam 2 kondisi: ketika investor keluar dari aset berisiko, atau ketika AS memimpin pemulihan ekonomi global. Kami tidak memperkirakan itu akan terjadi dalam waktu dekat," kata Gavin Friend, ahli strategi valas senior di NAB Group London.
Menurut survei tersebut, sebanyak 53 analis mengatakan dalam 6 bulan ke depan, dolar AS masih akan bergerak dekat level saat ini. Akibatnya, dolar AS terancam tertekan sebab banyak analis memberikan outlook bearish terhadap dolar AS.
Para spekulator mata uang sudah meningkatkan posisi jual dolar AS ke level tertinggi dalam 2 tahun terakhir, dan makin tinggi pada pekan lalu.
Berdasarkan data Commodity Futures Trading Commission (CFTC) menunjukkan jumlah net short (jual bersih) dolar AS naik menjadi US$ 16,83 miliar dalam sepekan yang berakhir 23 Juni, naik dari pekan sebelumnya US$ 15,69 miliar.
Tetapi, sebanyak 49 orang menyatakan dolar AS akan melemah melawan mata uang negara maju di sisa tahun ini, sisanya memprediksi mata yang negara berkembang dan mata uang yang terkait komoditas yang akan menguat.
Banyak faktor yang membuat rupiah kembali dalam tren pelemahan melawan dolar AS. Salah satunya jumlah kasus penyakit virus corona (Covid-19) yang terus menanjak di Indonesia. Risiko terjadinya pandemi Covid-19 gelombang kedua, hingga peluang Bank Indonesia yang akan kembali memangkas suku bunga.
Tanda-tanda rupiah akan melemah terlihat dari hasil survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan para pelaku pasar mulai "membuang" rupiah dengan mengurangi posisi beli (long) dalam 2 pekan terakhir.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (25/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,05, memburuk dari rilis dua pekan sebelumnya -0,69.
Dengan angka minus yang semakin menipis menjadi -0,05, berarti investor mulai melepas posisi beli (long) rupiah setelah terus meningkat dalam satu bulan terakhir. Apalagi posisi tersebut nyaris menjadi positif yang berarti investor mengambil posisi jual (short) rupiah. Sehingga tekanan terhadap rupiah kembali meningkat.
Menurut survei tersebut, adanya risiko penyebaran pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) menjadi penyebab investor kembali melepas aset-aset negara emerging market, termasuk Indonesia. Apalagi, menurut Reuters pelaku pasar melihat Bank Indonesia (BI) akan kembali memangkas suku bunga acuannya.
Saat BI kembali memangkas suku bunga, maka yield obligasi juga akan ikut menurun, sehingga daya tariknya akan berkurang. Aliran modal ke dalam negeri berisiko tersendat, rupiah pun kekurangan bensin untuk kembali menguat.
Selain penurunan yield obligasi, ada juga risiko naiknya inflasi di Indonesia. Hal ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin lalu setuju "sharing the pain" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19). BI setuju untuk membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon.
Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.
"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga keseluruh dunia," katanya.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab riil return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.
Sementara itu, kemarin setelah perdagangan dalam negeri ditutup, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan penambahan pasien yang mencapai 1.624 orang dalam sehari adalah rekor tertinggi sejak Indonesia mencatatkan kasus perdana pada awal Maret. Sementara dari sisi persentase, laju 2,81% adalah yang tercepat sejak 18 Juni.
Sementara hari ini, jumlah pasien positif dilaporkan sebanyak 1.301 kasus, sehingga total menjadi 60.695 kasus. Dalam 11 hari terakhir, penambahan kasus corona di Ibu Pertiwi selalu lebih dari 1.000 per hari.
TIM RISET CNBC INDONESIA