
Dolar Menggila ke Rp 14.500, So Pasti Rupiah Terlemah se-Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Di pasar spot, rupiah pun menderita.
Pada Jumat (3/7/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.566. Rupiah melemah 0,34% dibandingkan posisi sehari sebelumnya.
Di 'arena' pasar spot, rupiah juga merah. Pada pukul 10:19 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.500 di mana rupiah melemah 1,36%.
Kala pembukaan pasar spot, rupiah masih bisa stagnan di Rp 14.305/US$. Namun itu tidak lama, karena rupiah langsung masuk jalur merah. Bahkan dolar AS sudah berada di Rp 14.500, terkuat sejak awal Juni.
Sebenarnya mata uang Asia lainnya juga cenderung melemah di hadapan dolar AS. Sejauh ini hanya rupee India dan peso Filipina yang mampu menguat.
Akan tetapi, depresiasi rupiah yang dalam itu membuatnya menjadi mata uang terlemah di Asia. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:19 WIB:
Setidaknya ada dua sentimen yang membuat rupiah terpuruk. Pertama, pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di Tanah Air semakin menjadi-jadi.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan, jumlah pasien positif corona per 2 Juli 2020 adalah 59.394 orang. Bertambah 1.624 orang (2,81%) dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Penambahan pasien yang mencapai 1.624 orang dalam sehari adalah rekor tertinggi sejak Indonesia mencatatkan kasus perdana pada awal Maret. Sementara dari sisi persentase, laju 2,81% adalah yang tercepat sejak 18 Juni. Akibatnya, kurva kasus corona di Indonesia semakin jauh dari kata melandai, yang ada semakin melengkung ke atas.
Apabila pasien positif corona terus bertambah, maka bukan tidak mungkin pemerintah akan kembali mengetatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sejak bulan lalu mulai dikendurkan. Kalau sampai PSBB ketat lagi, maka roda ekonomi tidak akan bergerak. Indonesia hampir pasti bakal masuk resesi, tetapi ketika PSBB semakin ketat maka durasi resesi bakal kian panjang.
Kedua, sepertinya pelaku pasar agak mencemaskan skema pembiayaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah mengajukan skema bahwa BI akan menyerap obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk membiayai kepentingan tanpa bunga alias zero coupon. Total kebutuhan pendanaannya adalah Rp 397 triliun yang akan digunakan untuk membiayai program kesehatan, perlindungan sosial, dan sebagainya.
Kemudian, proposal lainnya adalah BI bisa menyerap obligasi pemerintah dengan bunga paling rendah 1 poin persentase di bawah suku bunga acuan. Penerbitan obligasi ini diperkirakan bernilai total Rp 505 triliun.
Pelaku pasar khawatir kesepakatan ini bakal meningkatkan jumlah uang beredar yang ujungnya adalah tekanan inflasi. Ketika inflasi tinggi, berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi kurang seksi lagi.
"Beban pembiayaan pemerintah berkurang, sehingga ada persepsi penerbitan obligasi akan terus bertambah. Perhatian investor tertuju kepada risiko inflasi dan kemudian neraca pembayaran. Ini akan mengurangi minat investor asing terhadap aset, terutama obligasi, dalam negeri," sebut Helmi Arman, Ekonom Citi, dalam risetnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
