
Kabar Baik dari China Bertubi-tubi, Dolar Australia Naik Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia kembali menguat melawan rupiah pada perdagangan Rabu (1/7/2020), hingga menyentuh level tertinggi dalam satu bulan terakhir. China kembali mengirim kabar baik yang membuat kurs dolar Australia terkerek naik.
Pada pukul 14:08 WIB, AU$ 1 setara Rp 9.837,6, dolar Australia menguat 0,52% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak 3 Juni.
ISH Markit kemarin melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Negeri Tiongkok bulan Juni naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 50,6. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi dan di atasnya berarti ekspansi.
Dengan demikian, China masih mempertahankan bahkan menambah laju ekspansi di bulan Juni, meski virus corona sempat menyerang ibu kota Beijing. Sehingga harapan akan perekonomian bisa segera bangkit kembali muncul.
Sejak dilanda pandemi penyakit virus corona (Covid-19), sektor manufaktur China hanya mengalami kontraksi di bulan Februari (angka indeks sebesar 35,7) setelahnya, mencatat ekspansi dalam 4 bulan beruntun.
Sementara pada hari ini, Caixin juga melaporkan PMI manufaktur China naik menjadi 51,2 dari sebelumnya 50,7. Indeks dari Caixin menggunakan sampel yang lebih kecil dengan IHS Markit, tetapi tetap mengkonfirmasi ekspansi sektor industri pengolahan di Negeri Tiongkok.
Saat sektor manufaktur China terus berekspansi, maka permintaan komoditas dari Australia tentunya juga akan meningkat. Dampaknya, perekonomian Australia juga bisa terkerek naik. Pertumbuhan ekonomi Australia pun berpeluang semakin baik lagi.
Di awal bulan ini, pertumbuhan ekonomi (produk domestic bruto/PDB) Australia kuartal I-2020 dilaporkan mengalami kontraksi atau minus 0,3% quarter-on-quarter (QoQ).
Rilis tersebut masih lebih bagus dari prediksi kontraksi 0,4% di Forex Factory. Sementara jika dilihat secara tahunan atau year-on-year, PDB Australia tumbuh 1,4%.
Kemudian penurunan surplus neraca dagang Australia juga tak sebesar prediksi. Surplus neraca dagang di bulan April tercatat sebesar AU$ 8,8 miliar, lebih baik ketimbang prediksi AU$ 7,5 miliar.
Data tersebut menunjukkan kemerosotan perekonomian tidak seburuk perkiraan, ditambah dengan ekspansi manufaktur China, tentunya ada harapan ke depannya kondisi ekonomi Australia akan semakin membaik.
Serangkaian data dari China tersebut sebenarnya juga berdampak positif pada rupiah. Tetapi, dalam beberapa hari terakhir rupiah justru loyo.
Hasil survei 2 mingguan Reuters bisa menjadi jawaban kenapa rupiah melemah pada hari ini. Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai "membuang" rupiah dengan mengurangi posisi beli (long) dalam 2 pekan terakhir.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (25/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,05, memburuk dari rilis dua pekan sebelumnya -0,69.
Dengan angka minus yang semakin menipis menjadi -0,05, berarti investor mulai melepas posisi beli (long) rupiah setelah terus meningkat dalam satu bulan terakhir. Sehingga tekanan terhadap rupiah kembali meningkat.
Menurut survei tersebut, adanya risiko penyebaran pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) menjadi penyebab investor kembali melepas aset-aset negara emerging market, termasuk Indonesia. Apalagi, menurut Reuters pelaku pasar melihat Bank Indonesia (BI) akan kembali memangkas suku bunga acuannya.
Di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 3 kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,25%. Jika suku bunga kembali dipangkas, yield obligasi juga akan menurun, sehingga menurunkan daya tarik investasi di Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
