
Rapor Bursa RI Saat Covid-19: Masih Juru Kunci di Asia!

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejauh ini, tahun 2020 memang belum menjadi tahun yang bersahabat untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Anjloknya bursa saham lokal ini memang bukan hal yang mengagetkan sebab berbagai sentimen negatif baik dari dalam dan luar negeri sudah muncul sejak awal tahun.
Akan tetapi mungkin semua investor akan setuju apabila sumber masalah sentimen negatif masih bersumber dari penyebaran virus corona atau Covid-19 yang menyebabkan perekonomian global porak poranda.
Tentu saja kejatuhan bursa saham ini tidak hanya terjadi di IHSG tapi di seluruh bursa saham di berbagai belahan dunia, tetapi IHSG menjadi salah satu bursa saham yang terdampak paling parah.
Kinerja Indeks Saham di Sejumlah Negara, per 19 Juni 2020
Dapat dilihat dari grafik di atas per 19 Juni 2020 (year to date), IHSG menjadi indeks berkinerja terburuk di ASEAN dan juga berhasil menduduki peringkat bontot di Asia, melorot dari posisi bulan lalu di mana IHSG adalah yang kedua terburuk di ASEAN dan ke 4 terburuk di Asia.
Sedangkan jika dibandingkan dengan bursa saham besar di seluruh dunia, IHSG menduduki posisi Ke-4 terbawah. Hanya lebih baik dari bursa saham di Spanyol, Austria, dan Kolombia.
Untuk negara-negara yang indeksnya sudah pulih dari corona, biasanya ada faktor tambahan. Seperti indeks Nasdaq di AS yang berhasil terapresiasi 10,85% secara tahun berjalan (year to date) karena indeks ini konstituennya perusahaan-perusahaan berbasis teknologi yang tentunya akan diuntungkan dengan adanya penguncian wilayah (lockdown).
Contonhya Netflix Inc (NFLX) yang jumlah pelanggannya berhasil meningkat 2 kali lipat setelah pemberlakuan lockdown karena masyarakat yang bosan terkunci di rumah memilih untuk menonton konten yang disediakan oleh Netfix.
Selain itu indeks SZSE di China juga sudah berhasil pulih dari corona dengan apresiasi sebesar 0,05%, ini dikarenakan sebagai negara pertama yang terjangkit virus corona, China juga akan menjadi negara yang pertama pulih dari corona sehingga bursa sahamnya juga akan pulih lebih cepat dari negara lain.
Bayangkan, di negara seluas China kasus positif corona per hari hanya berada di level double digit selama 2 bulan terakhir setelah sempat menyentuh angka 19.457 pasien positif per hari pada Februari silam.
Bandingkan dengan Indonesia yang semakin konsisten membukukan total pasien di atas 1.000 pasien per hari yang menunjukkan belum berhasilnya Indonesia dalam menghadapi pandemi virus nCov-19. Maka dari itu tidak heran jika IHSG menjadi indeks dengan kinerja terburuk di Asia.
Sejatinya penurunan IHSG sudah terjadi sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus corona pertama di Indonesia pada 2 Maret lalu. Saat WHO mengumumkan bahwa Covid-19 sebagai darurat kesehatan internasional pada 22 Januari, IHSG sudah reli turun.
Penurunan ini setelah investor mulai melarikan dananya dari aset yang berbahaya seperti saham ke aset yang lebih aman (safe haven) seperti emas, apalagi meskipun tingkat kematian akibat virus corona kecil hanya di bawah 2% secara global, akan tetapi virus ini memiliki daya jangkit yang tinggi dengan Rt di atas 2.
Tercatat IHSG berada di angka 6.233,45 pada 22 Januari selang 2 bulan IHSG sudah turun ke level 5.518,63 per tanggal 2 Maret, dan setelah WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret silam, IHSG sudah jatuh ke angka 5,154,11 sebelum akhirnya menyentuh titik nadir di angka 3.937,63 pada 24 Maret lalu.
Selain kinerja IHSG yang masih melorot, kinerja sektoral juga menjadi perhatian. Berikut kinerja sektor di BEI secara year to date 19 Juni 2020:
Indeks Sektoral
Berkaitan dengan sektoral di BEI, sebenarnya tidak semua sektor terdampak sama parahnya, oleh virus yang menyukai kerumunan ini.
Tercatat saat periode Januari-Februari 2020 ketika Covid-19 belum masuk ke Indonesia, memang semua sektor terkena dampak penurunan yang parah karena munculnya ketidakpastian dan tentunya ketidakpastian adalah musuh utama pasar modal sehingga para investor melakukan panic sell yang menyebabkan semua sektor di IHSG terdepresiasi.
Pada periode ini tercatat sektor keuangan yang paling mampu bertahan dengan depresiasi sebesar 7,89% dan sektor agrikultur menjadi sektor yang paling terdampak parah dengan penurunan sebesar 22,41%.
Kala itu sektor agrikulturlah mengalami depresiasi paling berat sebab harga CPO yang menjadi urat nadi sektor agrikultur sudah turun 14,7% selama tahun berjalan yang dikarenakan oleh berkurangnya permintaan karena negara-negara lain yang sudah terjangkit corona terlebih dahulu mulai melakukan penguncian wilayah dan pembatasan sosial sehingga pabrik-pabrik tidak dapat beroperasi.
Akan tetapi setelah kepanikan mereda dan investor mulai melihat data-data laporan keuangan perusahaan dan prospek ekonomi ke depan, baru terlihat sektor mana yang menjadi 'pemenang' dan sektor mana yang menjadi 'pecundang'.
Tercatat setelah RI 1 mengumumkan tamu tak diundang bernama corona telah tiba di Indonesia, sektor barang konsumsi berhasil terapresiasi 5,68% karena sektor ini karena sektor ini dianggap sebagai sektor yang defensif dan cukup kebal dalam menghadapi serangan Covid-19 karena produknya tetap di butuhkan walaupun dalam kondisi pandemi corona sekalipun.
Selain itu pasar swalayan dan toserba yang menjadi ujung tombak penjualan barang-barang konsumsi masih diijinkan beroperasi ketika kebijakan PSBB dijalankan.
Sedangkan sektor yang terdampak paling parah oleh virus corona tentu saja sektor Properti karena salah satu konstituen sektor ini adalah perusahaan pengelola pusat perbelanjaan alias mal, di mana bahkan sebelum diberlakukanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berberapa kota di bulan Maret, jumlah pengunjung pusat perbelanjaan sudah turun karena banyak warga yang takut berpergian ke tempat umum yang ramai dikunjungi orang.
Praktis setelah diberlakukanya PSBB di Jakarta pada bulan Maret kondisi mal-mal di Jakarta semakin memprihatinkan. Banyak mall yang tidak diijinkan untuk beroperasi, kalaupun boleh beroperasi, tenant yang masih diperbolehkan buka hanyalah tenant yang bergerak di industri tertentu seperti pasar swalayan dan farmasi. Hal ini tentunya mengakibatkan turunnya jumlah pengunjung pusat perbelanjaan secara drastis.
Tak hanya terdampak di sektor Pusat Perbelanjaan, kemampuan emiten pengembang properti untuk menjual produknya baik rumah maupun apartemen juga berkurang karena daya beli masyarakat yang turun. Hal ini menyebabkan indeks sektoral properti terdepresiasi paling parah yaitu sebesar 20,65%.
![]() Data BEI |
Selain kinerja harga yang buruk, ternyata virus corona ini memberikan dampak bagi total transaksi di IHSG, tercatat rata-rata nilai transaksi di IHSG turun 15,25% dari Rp 9,11 triliun per hari menjadi Rp 7,72 triliun per hari.
"Kinerja industri pasar modal di tengah wabah Covid, di 2020, ada beberapa event yang tidak bisa kita lupakan. Pertama pandemi Covid, pada saat Januari banyak negara negara yang terkena Covid-19. Kedua, pemilu AS juga akan berlangsung November, menarik, akan pengaruh ke politik Luar Negeri AS," kata Direktur Utama BEI Inarno Djajadi, dalam pemaparan virtual, Jumat (26/6/2020).
Tampaknya investor semakin enggan untuk bertransaksi di bursa lokal karena ketidakmampuan Indonesia dalam menghadapi virus corona, selain itu peraturan baru dari BEI yang memangkas jam perdagangan menjadi jam 9:00 WIB sampai 15:15 WIB dan membatasi aturan auto reject bawah (ARB) maksimal sebesar 7% juga turut menjadi sumbangsih penurunan nilai transaksi di bursa lokal.
Selain itu rata-rata volume transaksi harian juga turun 47,53% dari 14,54 miliar saham menjadi 7,63 miliar saham. Akan tetapi frekuensi perdagangan di bursa efek berhasil naik 9,29% dari 469 ribu kali menjadi 513 ribu kali. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan volatilitas di pasar saham Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi akibat virus Covid-19.
![]() Data BEI |
Sebenarnya kinerja laporan keuangan perusahaan pada kuartal pertama tahun 2020, tidak terlalu buruk. Terpantau dari 296 perusahaan yang sudah menyampaikan laporan keuangannya atau 43% dari total perusahaan yang melantai di BEI, laba perusahaan tercatat turun hanya 19,71% secara agregat.
Agrerat laba bersih dari 296 perusahaan atau emiten tersebut pada Q1 2020 mencapai Rp 63,4 triliun, turun 19,71% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Kontribusi laba terbesar dari sektor finance yang mencapai Rp 36,6 triliun dengan laba terbesar dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI).
Bahkan sektor barang-barang konsumsi berhasil membukukan kenaikan laba sebesar 10,25% dan sektor finansial berhasil membukukan kenaikan sebesar 3,41%.
Kenaikan ini terjadi karena sektor-sektor ini belum merasakan dampak dari PSBB dan penurunan daya beli masyarakat yang tentunya akan segera terlihat setelah laporan keuangan kuartal 2 masing-masing perusahaan dirilis.
Sedangkan sektor yang labanya terdampak paling parah tentu saja sektor perdagangan dan jasa yang pada kuartal pertama 2019 berhasil membukukan agregat laba sebesar Rp 7,12 triliun tapi pada kuartal pertama 2020 terpaksa merugi Rp 2,45 triliun karena selama hampir 2 bulan diberlakukanya PSBB sektor ini hanya dapat beroperasi secara terbatas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tersengat Dampak Corona, IHSG Ambles Lebih 4%