"Duet Maut" Resesi & Virus Corona Bikin Rupiah Tak Berdaya

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 June 2020 12:47
Warga melintas di depan toko penukaran uang di Kawasan Blok M, Jakarta, Jumat (20/7). di tempat penukaran uang ini dollar ditransaksikan di Rp 14.550. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (29/6/2020), melanjutkan pelemahan sepanjang pekan lalu. Isu resesi dan virus corona masih menjadi "duet maut" yang membuat rupiah terus melemah.

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan hari ini dengan stagnan di Rp 14.150/US$. Tetapi tidak perlu waktu lama, Mata Uang Garuda masuk ke zona merah. Depresiasi terus berlanjut hingga menyentuh level Rp 14.190/US$, melemah 0,28% di pasar spot.

Isu resesi kembali merebak setelah Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) merilis proyeksi ekonomi global terbaru.

IMF dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
"Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang negatif pada paruh pertama 2020 daripada yang diperkirakan," tulis lembaga itu, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).

Di negara dengan tingkat penularan Covid-19 dengan tren menurun, pemulihan ekonomi masih akan lambat karena aturan social distancing yang diberlakukan, dan akan berpengaruh hingga semester II-2020.

Sementara di negara yang masih berjuang menghadapi pandemi, lockdown akan terjadi lebih lama, sehingga pemulihan ekonomi pun akan memerlukan waktu yang lebih lama.

Dalam rilis tersebut, IMF memprediksi perekonomian global di tahun ini akan berkontraksi atau minus 4,9% lebih dalam ketimbang proyeksi yang diberikan pada bulan April lalu minus 3%. Itu artinya, resesi yang melanda dunia di tahun ini diprediksi makin dalam. 

Nyaris semua negara, dari negara maju hingga negara berkembang diramal akan mengalami kontraksi ekonomi. Secara umum, perekonomian negara maju akan minus 8%.

Amerika Serikat (AS), negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia diprediksi mengalami kontraksi 8%, kemudian ekonomi zona euro -10,2%. Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia diprediksi -5,8%.

Sementara itu, dari negara berkembang secara umum diramal minus 3%, tetapi perekonomian China diprediksi masih bisa tumbuh 1%. Ekonomi Indonesia sendiri tahun ini diprediksi menjadi -0,3%, padahal sebelumnya diramal masih bisa tumbuh 0,5%.

Munculnya risiko resesi semakin dalam membuat sentimen pelaku pasar memburuk, dan cenderung menghindari aset-aset negara emerging market yang dianggap lebih berisiko.

Hal tersebut diperburuk dengan serangan virus corona gelombang kedua yang kini semakin nyata.

Amerika Serikat (AS) paling mendapat sorotan pada pekan lalu setelah kasus Covid-19 mencatat rekor penambahan harian. Kini rekor penambahan tersebut tercatat secara global.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 28 Juni adalah 9.843.073 orang. Bertambah 190.025 orang atau 1,97% dibandingkan hari sebelumnya.

Tambahan 190.025 kasus dalam sehari adalah rekor kenaikan harian tertinggi sejak WHO mencatat pasien corona mulai 20 Januari. Sedangkan pertumbuhan 1,97% adalah laju tercepat sejak 21 Juni.

Virus corona gelombang kedua, jika sampai membuat negara-negara kembali mengambil kebijakan lockdown tentunya akan mengancam pemulihan ekonomi global. Sehingga, resesi dalam dan panjang akan "menghantui" dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular