Mulai "Dibuang" Investor, Rupiah Jadi yang Terburuk di Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 June 2020 16:08
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (26/6/2020), hingga membukukan pelemahan mingguan. Investor yang mulai "membuang" rupiah, menjadi penyebab lesunya Mata Uang Garuda hari ini, bahkan dalam beberapa pekan terakhir.

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.100/US$. Tetapi tak lama, rupiah masuk ke zona merah dan terus terdepresiasi hingga ke Rp 14.175/US$, melemah 0,53%. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di level Rp 14.150/US$, melemah 0,35% di pasar spot.

Dengan demikian rupiah kembali membukukan pelemahan sepanjang pekan ini sebesar 0,71%. Itu artinya, rupiah sudah 3 pekan beruntun belum mencatat penguatan setelah stagnan pada pekan lalu, dan melemah di pekan sebelumnya.

Dibandingkan mata uang utama Asia lainnya, rupiah dengan pelemahan 0,35% hari ini menjadi yang terburuk.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning hingga pukul 15:10 WIB.

Sentimen pelaku pasar sebenarnya cukup bagus yang terlihat dari penguatan bursa saham global. Di mulai dari bursa Eropa, dan AS (Wall Street) kemarin. Penguatan Wall Street, yang merupakan kiblat bursa saham dunia, berdampak positif ke pasar Asia hari ini.

Rupiah yang biasanya menguat ketika sentimen pelaku pasar membaik, kali ini tidak menunjukkan reaksi yang sama. Mata Uang Garuda justru melemah sejak awal perdagangan.

Hasil survei 2 mingguan Reuters bisa menjadi jawaban kenapa rupiah melemah pada hari ini. Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai "membuang" rupiah dengan mengurangi posisi beli (long) dalam 2 pekan terakhir.

Rupiah tampil garang sejak awal April hingga awal Juni lalu, mencatat penguatan lebih dari 15% dan menyentuh level terkuat tiga setengah bulan Rp 13.850/US$ pada 8 Juni lalu. Tetapi sejak saat itu, rupiah melempem, perlahan mengalami pelemahan dan kembali mendekati level Rp 14.200/US$.

Pelemahan rupiah tersebut sejalan dengan hasil survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan investor mulai "membuang" rupiah. Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi beli (long) rupiah dalam 2 pekan terakhir.

Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (15/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,05, memburuk dari rilis dua pekan sebelumnya -0,69.
Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.

Ketika itu rupiah menjadi juara dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.

Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar oleh analis dari Bank of Amerika Merryl Lycnh (BAML) saat itu.

"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis BAML dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).

Kini dengan angka minus yang semakin menipis menjadi -0,05, berarti investor mulai melepas posisi long rupiah setelah terus meningkat dalam satu bulan terakhir. Sehingga tekanan terhadap rupiah kembali meningkat.

Adanya risiko penyebaran pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) menjadi penyebab investor kembali melepas aset-aset negara emerging market, termasuk Indonesia. Apalagi, menurut Reuters pelaku pasar melihat Bank Indonesia (BI) akan kembali memangkas suku bunga acuannya.

Di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 3 kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,25%. Jika suku bunga kembali dipangkas, yield obligasi juga akan menurun, sehingga menurunkan daya tarik investasi di Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Next Page
Investor
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular